Aku bukan orang yang mudah mengutarakan perasaan.
Bukan karena tidak punya,
tapi karena terlalu banyak kemungkinan yang menunggu di ujung kata.
Yang lain berani menangis di depan umum.
Aku menunduk.
Menimbang.
Takut semuanya berubah abu-abu begitu keluar dari mulutku.
Takut tidak ada yang benar atau salah, hanya penyesalan yang datang belakangan.
Air selalu menjadi penenang.
Tapi juga bencana.
Ia datang tanpa diminta,
membersihkan apa saja yang harus dibersihkan.
Membawa pergi yang kotor.
Menyisakan udara yang bisa dihirup lagi.
Tanah yang bisa dipijak lagi.
Pemandangan yang bisa dilihat lagi.
Malam ini hujan deras.
Ada bolongan di jendela, dan aku takut petir.
Kepalaku sibuk menghitung kemungkinan buruk.
Tapi entah kenapa, aku suka malam ini.
Suka hujan ini.
Ketenangan itu jarang.
Kadang hanya datang ketika kau berhenti berlari.
Kadang ketika kau menarik napas panjang tanpa alasan.
Atau saat kau sengaja mengabaikan kerlip lampu di atas sana,
karena tahu atau pura-pura tidak tahu
bahwa waktu selalu siap menelanmu.
Aku menghargai diriku dalam diam.
Dalam pikiran yang berkelut.
Orang bilang, terlalu banyak penderitaan untuk memikirkan esensi hidup.
Tapi justru di situ aku menemukan diriku.
Setelah kerlip cahaya itu padam,
apa lagi yang tersisa selain kegelisahan?
Diam sebentar.
Bersyukur.
Bahkan hujan pun turun karena ia tahu dirinya air.
Lalu kau?
Apa tujuanmu di sini, sebagai manusia?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI