Fenomena kejatuhan seorang aktor politik jarang sekali dapat dipahami hanya dari permukaan persoalan yang tampak. Kasus Wahyu Moridu yang muncul melalui sirkulasi video pribadi memperlihatkan bagaimana arena politik lokal di Gorontalo bukan sekadar pertarungan gagasan dan program, melainkan juga pertarungan simbol, moral, dan strategi character assassination. Pertanyaan mengenai siapa dalang di balik peristiwa ini menjadi relevan, sebab politik Indonesia kerap menghadirkan drama di mana serangan personal dijadikan instrumen politik.
Dari Pribadi ke Arena Politik
Meskipun tampak sebagai persoalan pribadi, kasus Wahyu Moridu tidak bisa dilepaskan dari konteks politik yang lebih luas. Dalam kajian politik, the personal is political (Hanisch, 1970), artinya ruang privat kerap dipolitisasi untuk kepentingan perebutan kuasa. Video pribadi menjadi instrumen yang sangat efektif, karena selain meruntuhkan moralitas individu, juga sekaligus merusak legitimasi kelompok atau partai yang menaunginya.
Dalam perspektif ini, persoalan Wahyu tidak berhenti pada skandal personal. Ada indikasi bahwa peristiwa tersebut merupakan bagian dari permainan politik yang lebih besar: perebutan tiket partai, rivalitas dalam Pilkada, bahkan potensi dendam politik lama yang masih membara. Dengan demikian, kasus ini lebih tepat dipahami sebagai instrumen politikbukan sekadar persoalan moral individual.
Dalang dan Intrik Politik Lokal
Dalam teori politik, kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan selalu terkait dengan relasi kuasa internal dan eksternal (Foucault, 1980). Dengan perspektif ini, dalang yang berada di balik robohnya Wahyu Moridu tidak selalu dapat diasumsikan berasal dari lawan politik terbuka. Kemungkinan lain adalah aktor dari dalam partai sendiri atau bahkan kawan politik yang sebelumnya berada dalam satu barisan.
Fenomena “dikhianati oleh kawan sendiri” bukan hal baru dalam politik Indonesia. Dalam kerangka patronase, partai kerap mengorbankan individu demi menyelamatkan citra kolektif. Hal ini selaras dengan peringatan Bung Karno bahwa “musuh paling berbahaya adalah kawan yang berkhianat.” Dengan demikian, serangan yang diarahkan kepada Wahyu dapat dibaca sebagai strategi untuk melokalisasi masalah: dengan menumbalkan satu figur, partai atau kelompok politik berupaya menyelamatkan legitimasi institusional.
Moralitas sebagai Senjata Politik
Joseph Nye (2004) dengan konsep soft power menegaskan bahwa legitimasi moral dan citra jauh lebih menentukan dibanding kekuatan koersif formal. Dalam kasus Wahyu Moridu, persoalan yang menyeruak ke ruang publik bukan hanya soal legalitas, melainkan persoalan moralitas. Hannah Arendt (1972) menyebut situasi semacam ini sebagai the court of public opinion, yakni ketika opini publik menjadi hakim yang lebih cepat daripada lembaga formal.
Fenomena ini juga memperlihatkan apa yang disebut John Locke sebagai rapuhnya kekuasaan tanpa kepercayaan moral. Sekalipun seseorang memiliki kedudukan formal, begitu kepercayaan publik runtuh, legitimasi politik praktis kehilangan fondasinya. Dengan kata lain, moralitas dijadikan instrumen serangan yang efektif, karena ia langsung menyingkirkan ruang rasional untuk pembelaan diri.
Politik yang Runtuh karena Moral
Sejarah politik Indonesia penuh dengan kasus runtuhnya figur akibat isu moral dan etika, bukan karena kegagalan program. Kasus Nurdin Halid (2004–2007), rekaman suap Jaksa Urip dan Artalita (2008), maupun sejumlah skandal rekaman tokoh partai pada dekade 2010-an menjadi preseden kuat bahwa character assassination berbasis isu moral selalu berhasil meruntuhkan legitimasi.
Fenomena ini sejalan dengan teori framing (Entman, 1993) di mana media dan aktor politik memilih aspek tertentu dari realitas untuk ditonjolkan agar memengaruhi persepsi publik. Potongan video, meskipun secara hukum masih dapat diperdebatkan, sudah cukup membentuk persepsi negatif dan menutup kemungkinan rehabilitasi citra
Strategi Politik: Dari Masa Lalu hingga Kini
Penggunaan rekaman sebagai instrumen politik bukanlah fenomena baru. Pada masa Orde Baru, apa yang disebut “buku hitam” atau kaset rekaman digunakan untuk mengendalikan oposisi. Era Reformasi kemudian menghadirkan bentuk serangan baru melalui bocoran telepon, foto, dan rekaman yang disebarkan melalui media. Dalam Pilkada di berbagai daerah, pola serupa berulang: persoalan personal diangkat ke ranah publik untuk mengikis legitimasi kandidat.
Dalam perspektif politik perbandingan, hal ini sejalan dengan apa yang terjadi pada Dominique Strauss-Kahn di Prancis (2011) atau kasus skandal Boris Johnson di Inggris (2022), di mana isu moral lebih berpengaruh dalam menjatuhkan figur daripada aspek kebijakan publik.
PDIP vs BK: Antara Kecepatan dan Keterlambatan
Keputusan PDIP yang relatif cepat dibandingkan BK (Badan Kehormatan) DPRD menunjukkan adanya dua logika yang berbeda. PDIP bergerak dengan logika politik elektoral damage control untuk menyelamatkan citra partai. Sebaliknya, BK terikat pada logika prosedural dan normatif sehingga tampak lamban dalam mengambil keputusan.
Dalam kerangka dual legitimacy conflict, kondisi ini menimbulkan pertanyaan akademik: siapa yang memiliki otoritas lebih kuat, partai atau lembaga etik internal DPRD? Jika perbedaan keputusan terjadi, maka potensi konflik kelembagaan akan semakin memperburuk krisis legitimasi.
Hak Membela Diri dan Batasannya
Secara hukum, Wahyu Moridu tetap memiliki ruang untuk melakukan pembelaan diri. Konstitusi dan prinsip due process of law menjamin hak tersebut. Namun secara politik, ruang tersebut sangat terbatas. Fenomena yang disoroti Arendt tentang kecepatan opini publik membuat upaya pembelaan hukum tidak serta-merta dapat mengembalikan citra. Dengan kata lain, ada jurang yang lebar antara legitimasi hukum dan legitimasi politik.
Penutup
Kasus Wahyu Moridu memperlihatkan bahwa kejatuhan seorang aktor politik di tingkat lokal tidak dapat dilepaskan dari intrik, dendam, dan perhitungan strategis yang melibatkan baik lawan maupun kawan politik. Meskipun muncul melalui persoalan yang tampak pribadi, pada dasarnya ia merupakan bagian dari permainan politik yang lebih luas.
Serangan moral menjadi senjata efektif karena ia bekerja cepat, melampaui prosedur hukum dan etika formal
Tulisan ini disarikan dari diskusi dan perenungan yang berlangsung dalam ruang publik informal, yakni warung kopi. Di ruang semacam itu, percakapan warga sering kali lebih jujur dan tajam dibanding forum resmi, karena ia memadukan pengalaman sehari-hari, intuisi politik, dan bacaan akademik.
Oleh : Kevin Sairullah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI