Secara hukum, Wahyu Moridu tetap memiliki ruang untuk melakukan pembelaan diri. Konstitusi dan prinsip due process of law menjamin hak tersebut. Namun secara politik, ruang tersebut sangat terbatas. Fenomena yang disoroti Arendt tentang kecepatan opini publik membuat upaya pembelaan hukum tidak serta-merta dapat mengembalikan citra. Dengan kata lain, ada jurang yang lebar antara legitimasi hukum dan legitimasi politik.
Penutup
Kasus Wahyu Moridu memperlihatkan bahwa kejatuhan seorang aktor politik di tingkat lokal tidak dapat dilepaskan dari intrik, dendam, dan perhitungan strategis yang melibatkan baik lawan maupun kawan politik. Meskipun muncul melalui persoalan yang tampak pribadi, pada dasarnya ia merupakan bagian dari permainan politik yang lebih luas.
Serangan moral menjadi senjata efektif karena ia bekerja cepat, melampaui prosedur hukum dan etika formal
Tulisan ini disarikan dari diskusi dan perenungan yang berlangsung dalam ruang publik informal, yakni warung kopi. Di ruang semacam itu, percakapan warga sering kali lebih jujur dan tajam dibanding forum resmi, karena ia memadukan pengalaman sehari-hari, intuisi politik, dan bacaan akademik.
Oleh : Kevin Sairullah
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI