Mohon tunggu...
كيفن سيرالله
كيفن سيرالله Mohon Tunggu... Humanisme

Pecandu Keheningan | Penikmat Kopi | Membaca Dan Menulis |

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Intrik, Dendam, dan Dalang: Catatan atas Robohnya Wahyu Moridu

22 September 2025   03:41 Diperbarui: 22 September 2025   04:03 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik yang Runtuh karena Moral

Sejarah politik Indonesia penuh dengan kasus runtuhnya figur akibat isu moral dan etika, bukan karena kegagalan program. Kasus Nurdin Halid (2004–2007), rekaman suap Jaksa Urip dan Artalita (2008), maupun sejumlah skandal rekaman tokoh partai pada dekade 2010-an menjadi preseden kuat bahwa character assassination berbasis isu moral selalu berhasil meruntuhkan legitimasi.

Fenomena ini sejalan dengan teori framing (Entman, 1993) di mana media dan aktor politik memilih aspek tertentu dari realitas untuk ditonjolkan agar memengaruhi persepsi publik. Potongan video, meskipun secara hukum masih dapat diperdebatkan, sudah cukup membentuk persepsi negatif dan menutup kemungkinan rehabilitasi citra

Strategi Politik: Dari Masa Lalu hingga Kini

Penggunaan rekaman sebagai instrumen politik bukanlah fenomena baru. Pada masa Orde Baru, apa yang disebut “buku hitam” atau kaset rekaman digunakan untuk mengendalikan oposisi. Era Reformasi kemudian menghadirkan bentuk serangan baru melalui bocoran telepon, foto, dan rekaman yang disebarkan melalui media. Dalam Pilkada di berbagai daerah, pola serupa berulang: persoalan personal diangkat ke ranah publik untuk mengikis legitimasi kandidat.

Dalam perspektif politik perbandingan, hal ini sejalan dengan apa yang terjadi pada Dominique Strauss-Kahn di Prancis (2011) atau kasus skandal Boris Johnson di Inggris (2022), di mana isu moral lebih berpengaruh dalam menjatuhkan figur daripada aspek kebijakan publik.

PDIP vs BK: Antara Kecepatan dan Keterlambatan

Keputusan PDIP yang relatif cepat dibandingkan BK (Badan Kehormatan) DPRD menunjukkan adanya dua logika yang berbeda. PDIP bergerak dengan logika politik elektoral damage control untuk menyelamatkan citra partai. Sebaliknya, BK terikat pada logika prosedural dan normatif sehingga tampak lamban dalam mengambil keputusan.

Dalam kerangka dual legitimacy conflict, kondisi ini menimbulkan pertanyaan akademik: siapa yang memiliki otoritas lebih kuat, partai atau lembaga etik internal DPRD? Jika perbedaan keputusan terjadi, maka potensi konflik kelembagaan akan semakin memperburuk krisis legitimasi.


Hak Membela Diri dan Batasannya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun