Politik yang Runtuh karena Moral
Sejarah politik Indonesia penuh dengan kasus runtuhnya figur akibat isu moral dan etika, bukan karena kegagalan program. Kasus Nurdin Halid (2004–2007), rekaman suap Jaksa Urip dan Artalita (2008), maupun sejumlah skandal rekaman tokoh partai pada dekade 2010-an menjadi preseden kuat bahwa character assassination berbasis isu moral selalu berhasil meruntuhkan legitimasi.
Fenomena ini sejalan dengan teori framing (Entman, 1993) di mana media dan aktor politik memilih aspek tertentu dari realitas untuk ditonjolkan agar memengaruhi persepsi publik. Potongan video, meskipun secara hukum masih dapat diperdebatkan, sudah cukup membentuk persepsi negatif dan menutup kemungkinan rehabilitasi citra
Strategi Politik: Dari Masa Lalu hingga Kini
Penggunaan rekaman sebagai instrumen politik bukanlah fenomena baru. Pada masa Orde Baru, apa yang disebut “buku hitam” atau kaset rekaman digunakan untuk mengendalikan oposisi. Era Reformasi kemudian menghadirkan bentuk serangan baru melalui bocoran telepon, foto, dan rekaman yang disebarkan melalui media. Dalam Pilkada di berbagai daerah, pola serupa berulang: persoalan personal diangkat ke ranah publik untuk mengikis legitimasi kandidat.
Dalam perspektif politik perbandingan, hal ini sejalan dengan apa yang terjadi pada Dominique Strauss-Kahn di Prancis (2011) atau kasus skandal Boris Johnson di Inggris (2022), di mana isu moral lebih berpengaruh dalam menjatuhkan figur daripada aspek kebijakan publik.
PDIP vs BK: Antara Kecepatan dan Keterlambatan
Keputusan PDIP yang relatif cepat dibandingkan BK (Badan Kehormatan) DPRD menunjukkan adanya dua logika yang berbeda. PDIP bergerak dengan logika politik elektoral damage control untuk menyelamatkan citra partai. Sebaliknya, BK terikat pada logika prosedural dan normatif sehingga tampak lamban dalam mengambil keputusan.
Dalam kerangka dual legitimacy conflict, kondisi ini menimbulkan pertanyaan akademik: siapa yang memiliki otoritas lebih kuat, partai atau lembaga etik internal DPRD? Jika perbedaan keputusan terjadi, maka potensi konflik kelembagaan akan semakin memperburuk krisis legitimasi.
Hak Membela Diri dan Batasannya