Tau buah stroberi? Sebesar anggur, berwarna kemerahan. Biasanya disajikan bersama dengan kue tart atau makanan pencuci mulut. Bentuknya memang indah, menarik. Tetapi jangan sekali-kali menekannya terlalu kuat. Buah ini mudah rusak saking rapuhnya.
Ilustrasi buah stroberi ini menjadi gambaran suatu generasi yang tampak cemerlang dari luar tetapi rapuh saat menghadapi tekanan atau tantangan.
Istilah Generasi Stroberi (Strawberry Generation) pertama kali muncul di Taiwan (1990-an), menggambarkan generasi muda yang "lunak" dibanding generasi sebelumnya. Mulai diperkenalkan secara luas oleh seorang jurnalis dan penulis Taiwan, Wu Ruojun pada awal tahun 2000-an.
Wu menggunakan istilah ini untuk menggambarkan generasi muda Taiwan yang tumbuh dalam kondisi ekonomi yang lebih baik, tetapi kurang memiliki ketahanan mental dan fisik dibandingkan generasi sebelumnya.
Seiring waktu, istilah ini meluas ke berbagai negara, terutama di Asia, untuk menggambarkan anak muda yang dianggap lebih manja, tidak tahan kritik, dan cenderung mencari kenyamanan dalam hidup mereka.
Gambaran Generasi Stroberi
Gambaran Generasi Stroberi di Indonesia bisa dilihat dari beberapa aspek kehidupan sosial, pendidikan, dan dunia kerja. Dari gambaran sesuai 3 (tiga) aspek itu, kita dapat melihat bagaimana rapuhnya generasi ini:
1. Dunia Kerja
Ciri pertama generasi stroberi di dunia kerja biasanya ditunjukkan dari sikap reaktifnya yang "cepat resign dan sulit bertahan di tempat kerja".
Banyak perusahaan di Indonesia mengeluhkan bahwa anak muda, terutama Gen Z, lebih mudah menyerah jika merasa tidak cocok dengan lingkungan kerja atau tidak mendapat apresiasi. Istilah "quiet quitting" (bekerja seperlunya saja) juga cukup populer di kalangan mereka.
Kemudian ciri keduanya, mereka "senang mencari kenyamanan dan fleksibilitas". Generasi ini lebih memilih pekerjaan yang fleksibel, seperti freelance, remote work, atau content creator, daripada pekerjaan kantor yang menuntut kedisiplinan ketat.
Selanjutnya ciri ketiga, yaitu "sensitif terhadap kritik". Bagi mereka, kritik dari atasan atau rekan kerja sering dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai masukan untuk berkembang.
2. Pendidikan dan Pola Pikir
Generasi ini cenderung "mudah stres dan cemas". Tekanan akademik dan sosial membuat mereka lebih rentan mengalami gangguan mental seperti overthinking, anxiety, atau burnout.
Mereka juga "kurang tahan menghadapi kegagalan". Banyak anak muda yang takut mencoba hal baru karena takut gagal dan dipermalukan di media sosial. Kegagalan sering dianggap sebagai akhir, bukan sebagai bagian dari proses belajar.
Anak-anak ini juga "lebih memilih passion daripada keamanan finansial". Generasi ini lebih memilih mengejar pekerjaan yang sesuai passion daripada pekerjaan stabil dengan gaji tinggi.
3. Interaksi Sosial dan Gaya Hidup
Anak-anak ini memiliki "ketergantungan pada teknologi". Mereka lebih nyaman berkomunikasi lewat chat atau media sosial daripada bertatap muka langsung. Ini membuat interaksi sosial menjadi lebih dangkal.
Mereka juga cenderung terjebak pada "budaya FOMO (Fear of Missing Out)". Selalu ingin ikut tren terbaru agar tidak merasa tertinggal, baik dalam gaya hidup, fashion, maupun opini sosial.
Yang menarik, anak-anak muda ini memiliki kepekaan dan "lebih peduli pada isu-isu sosial", walaupun kadang hanya di media sosial. Mereka sangat vokal menyikapi isu seperti lingkungan, kesetaraan gender, atau hak-hak pekerja, tetapi terkadang hanya dalam bentuk postingan tanpa aksi nyata.
Gen Z dan Alpha
Di Indonesia, istilah Generasi Stroberi sering dikaitkan dengan Gen Z (lahir sekitar 1997--2012) dan Gen Alpha (lahir 2013 ke atas), terutama dalam hal mentalitas dan ketahanan menghadapi tantangan. Namun, ada beberapa perbedaan dalam bagaimana label ini diterapkan:
1. Gen Z di Indonesia
Gen Z di Indonesia tumbuh di era digital dengan akses luas ke informasi dan media sosial. Mereka dikenal lebih kritis, ekspresif, dan sadar akan isu-isu sosial seperti lingkungan, kesetaraan, dan kesehatan mental.
Sering dianggap kurang tahan banting dalam menghadapi tekanan dunia kerja atau kehidupan sosial yang menuntut. Banyak perusahaan di Indonesia mengeluhkan bahwa mereka sulit beradaptasi dengan budaya kerja yang keras.
Meski ada stigma "stroberi," Gen Z juga menunjukkan kelebihan seperti kreativitas, kewirausahaan, dan kepedulian sosial yang tinggi.
2. Gen Alpha di Indonesia
Gen Alpha adalah generasi yang sepenuhnya digital sejak lahir. Mereka lebih terbiasa dengan teknologi, AI, dan pembelajaran daring sejak dini.
Karena sangat bergantung pada teknologi, ada kekhawatiran bahwa mereka bisa lebih rentan terhadap gangguan mental, kesulitan dalam interaksi sosial langsung, serta kurangnya ketahanan dalam menghadapi kegagalan.
Pendidikan dan pola asuh akan sangat menentukan apakah mereka menjadi "generasi stroberi" atau justru generasi yang lebih adaptif dan inovatif.
Penyebabnya
Generasi Stroberi tidak muncul begitu saja, tetapi terbentuk oleh kombinasi berbagai faktor sosial, ekonomi, teknologi, dan pola asuh. Setidaknya ada 6 (enam) penyebab utama yang menjadi penyebab lahirnya generasi ini:
1. Pola Asuh yang Overprotektif
Banyak orang tua, terutama dari generasi Boomer dan Gen X, ingin memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anak mereka dibandingkan yang mereka alami dulu.
Pola asuh yang terlalu melindungi atau dikenal sebagai helicopter parenting membuat anak-anak tidak terbiasa menghadapi tantangan sendiri.
Akibatnya, mereka kurang mandiri, sulit mengambil keputusan sendiri, dan mudah menyerah saat menghadapi kesulitan.
2. Teknologi dan Media Sosial
Generasi ini tumbuh di era digital, di mana media sosial menjadi pusat kehidupan.
Kehidupan di media sosial sering kali menampilkan standar kesuksesan yang tidak realistis, sehingga banyak yang merasa insecure atau minder.
Interaksi yang lebih banyak terjadi secara virtual mengurangi keterampilan sosial mereka dalam dunia nyata.
3. Lingkungan Pendidikan yang Berubah
Sistem pendidikan modern menuntut nilai akademik yang tinggi tanpa selalu membekali siswa dengan keterampilan hidup dan ketahanan mental.
Banyak siswa yang merasa tekanan akademik terlalu besar, sehingga mudah stres dan mengalami burnout.
4. Kemudahan Hidup dan Ekonomi yang Lebih Stabil
Generasi sebelumnya harus bekerja keras untuk mencapai stabilitas ekonomi, sementara Generasi Stroberi lahir dalam kondisi yang relatif lebih nyaman.
Karena terbiasa dengan kemudahan, mereka kurang terbiasa menghadapi kesulitan dan lebih mudah menyerah saat mengalami hambatan.
5. Budaya "Instant Gratification"
Teknologi memungkinkan segala sesuatu bisa didapatkan dengan cepat, seperti makanan, hiburan, bahkan validasi sosial (melalui like dan komentar di media sosial).
Ini membuat mereka cenderung tidak sabar dan ingin hasil instan tanpa melalui proses yang panjang.
6. Perubahan Sosial dan Nilai-Nilai Baru
Generasi ini lebih sadar akan hak-hak mereka, termasuk hak untuk mendapatkan kenyamanan, kesejahteraan mental, dan lingkungan kerja yang baik.
Mereka lebih menolak sistem kerja yang dianggap menindas, tetapi kadang dianggap kurang gigih dalam menghadapi tantangan di dunia nyata.
Solusinya
Untuk mengatasi fenomena Generasi Stroberi, diperlukan solusi dari berbagai pihak, mulai dari individu, keluarga, hingga institusi pendidikan dan masyarakat. Setidaknya ada 5 (lima) pihak yang perlu untuk berperan aktif dalam mencarikan solusinya :
1. Dari Sisi Individu (Gen Z & Gen Alpha Itu Sendiri)
Anak muda perlu "Meningkatkan Ketahanan Mental". Mereka perlu belajar menerima kegagalan sebagai bagian dari proses belajar. Mengembangkan growth mindset, melihat kesalahan sebagai kesempatan untuk berkembang, serta mengurangi ketergantungan pada validasi sosial dari media sosial.
Di sisi lain, anak muda perlu "Meningkatkan Kemampuan Problem Solving". Mereka harus bisa belajar menyelesaikan masalah sendiri tanpa langsung bergantung pada orang lain, serta mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan analitis.
Anak muda juga perlu "Menyeimbangkan Digital dan Real Life". Artinya, kurangi screen time dan perbanyak interaksi sosial langsung. Kembangkan hobi atau kegiatan yang tidak melibatkan gadget.
2. Dari Sisi Orang Tua dan Keluarga
Para orang tua harus "Menghindari Pola Asuh Overprotektif". Alih-alih mengekang, orang tua harus memberikan kebebasan anak untuk mencoba dan gagal. Orang tua juga harus mengajarkan anak untuk menghadapi konsekuensi dari keputusan mereka sendiri.
Orang tua juga harus "Mengajarkan Nilai Kerja Keras dan Ketahanan". Caranya dengan mendorong anak untuk bekerja atau melakukan tugas rumah tangga sejak kecil, serta menanamkan pentingnya usaha, bukan hanya hasil.
3. Dari Sisi Pendidikan
Pendidikan haruslah "Mengajarkan Keterampilan Hidup (Life Skills)". Artinya, harus lebih banyak menekankan problem solving, manajemen emosi, dan keterampilan komunikasi. Memasukkan pendidikan finansial, manajemen stres, dan keterampilan sosial dalam kurikulum.
Yang tak kalah penting, pendidikan harus "Mengurangi Tekanan Akademik Berlebihan". Dunia pendidikan harus memberikan ruang bagi siswa untuk mengeksplorasi minatnya, bukan hanya mengejar nilai.
4. Dari Sisi Dunia Kerja
Dunia kerja haruslah "Menyediakan Lingkungan Kerja yang Adaptif, tetapi Tetap Menuntut Profesionalisme". Artinya, dunia kerja perlu memberikan fleksibilitas, tetapi tetap dengan standar kerja yang jelas. Membangun budaya kerja yang menghargai kesejahteraan mental tanpa mengurangi etos kerja.
Iklim kerja juga harus membiasakan untuk "Membimbing Generasi Muda, Bukan Hanya Mengkritik". Atasan atau senior di tempat kerja perlu memberikan coaching & mentoring, bukan sekadar mengeluhkan sikap generasi muda.
5. Dari Sisi Masyarakat & Media
Masyarakat dan media harus "Mengurangi Glorifikasi Instant Success". Artinya, media harus lebih banyak mengangkat kisah sukses yang melalui proses panjang, bukan hanya yang viral atau instan. Hal ini akan mendorong generasi muda untuk menikmati proses, bukan sekedar mengejar hasil instan.
Di samping itu, perlu untuk "Mendorong Budaya Ketahanan dan Kemandirian". Di mana untuk mewujudkan hal ini, kampanye tentang pentingnya kerja keras dan ketahanan mental perlu digaungkan lebih luas.
Konklusi
Jika harus memilih satu penyebab utama, maka pola asuh yang overprotektif adalah faktor paling dominan dalam melahirkan Generasi Stroberi.
Ketika anak dibesarkan dengan terlalu banyak perlindungan dan kemudahan, mereka tidak terbiasa menghadapi kesulitan. Akibatnya, mereka kurang mandiri, mudah menyerah, dan sulit menghadapi tekanan.
Orang tua yang selalu menyelesaikan masalah anaknya tanpa memberi kesempatan untuk belajar dari kesalahan justru membuat mereka rapuh ketika menghadapi tantangan di dunia nyata.
Tanpa pola asuh yang melatih ketahanan mental sejak kecil, berbagai faktor lain seperti teknologi, media sosial, atau tekanan akademik akan semakin memperburuk kondisi mereka.
Dus, generasi Stroberi tidak harus dipandang sebagai generasi yang lemah, tetapi sebagai generasi yang butuh pendekatan berbeda untuk berkembang. Kombinasi antara pola asuh yang tepat, pendidikan yang menanamkan life skills, serta lingkungan kerja dan sosial yang suportif tetapi tetap menuntut tanggung jawab dapat membantu mereka menjadi generasi yang lebih kuat dan inovatif. Tabik !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI