Pernahkah kalian membereskan ruangan lalu menemukan beberapa buku terselip di antara tumpukan barang? Buku yang boleh jadi dibeli karena alasan random, terabaikan lalu benar-benar terlupakan. Di Jepang, fenomena ini lazim disebut ‘tsundoku’.
Tsundoku adalah istilah Jepang untuk kebiasaan membeli buku tetapi tidak membacanya, lalu membiarkannya menumpuk begitu saja. Secara etimologi berasal dari kata ‘tsun’ (menumpuk) dan ‘doku’ (membaca). Jadi secara harfiah, tsundoku berarti "menumpuk bacaan" tanpa benar-benar membacanya.
Saya sendiri seperti itu, kerap membeli buku lalu menumpuknya begitu saja. Ada keinginan kuat dan hasrat berapi-api saat belum mendapatkan suatu buku. Berburu mati-matian di beberapa toko buku offline maupun online.
Semakin bergairah saat menyadari buku itu sulit didapatkan. Sialnya, begitu buku berhasil dibeli, perasaan bahagia dan nyaman mematikan hasrat untuk membacanya. Saya pun menjadi tsundoku.
Mengapa menjadi Seorang Tsundoku?
Fenomena ini cukup umum, terutama di kalangan pecinta buku yang selalu tertarik membeli buku baru tetapi kesulitan mendapatkan waktu untuk membacanya.
Boleh jadi seperti saya, membeli buku karena penasaran lalu berusaha mati-matian memburunya. Proses perburuan yang rumit dan panjang akhirnya menghabiskan energi untuk membacanya. Berikut beberapa alasan mengapa kita menjadi tsundoku:
1. Hasrat lebih besar dari waktuÂ
Antusiasme membeli buku sering kali lebih besar daripada waktu yang tersedia untuk membacanya. Kita kerap tergiur diskon yang ditawarkan saat ada pameran buku, padahal pada waktu yang bersamaan pekerjaan kantor atau tugas kuliah tengah banyak-banyaknya. Alhasil, buku-buku yang kita beli hanya menumpuk di kolong meja.
Dari sudut pandang Heidegger, manusia hidup dalam keterbatasan waktu (being-toward-death). Tsundoku bisa dipahami sebagai refleksi dari kecemasan eksistensial—kita mengumpulkan buku seolah-olah bisa membaca semuanya, padahal waktu kita terbatas.