Mohon tunggu...
Kelik Novidwyanto
Kelik Novidwyanto Mohon Tunggu... Penulis lepas; Pegiat di Komunitas Disambi Ngopi; Birokrat

Mulai aktif menulis sejak masih kuliah, ketika bergabung dengan Persma BPP Cakrawala serta kepengurusan HMI. Memiliki minat di bidang psikologi dan humaniora. Beberapa tulisannya dimuat di Kumparan, Brilio dan media online lainnya. Saat ini berprofesi sebagai birokrat di Pemerintah Kota Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Fenomena "Tsundoku" dan Jebakan Taken for Granted pada Buku

12 Februari 2025   12:08 Diperbarui: 12 Februari 2025   21:21 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Tsundoku", menumpuk buku tanpa membacanya (Sumber: Pixabay)

Pernahkah kalian membereskan ruangan lalu menemukan beberapa buku terselip di antara tumpukan barang? Buku yang boleh jadi dibeli karena alasan random, terabaikan lalu benar-benar terlupakan. Di Jepang, fenomena ini lazim disebut ‘tsundoku’.

Tsundoku adalah istilah Jepang untuk kebiasaan membeli buku tetapi tidak membacanya, lalu membiarkannya menumpuk begitu saja. Secara etimologi berasal dari kata ‘tsun’ (menumpuk) dan ‘doku’ (membaca). Jadi secara harfiah, tsundoku berarti "menumpuk bacaan" tanpa benar-benar membacanya.

Saya sendiri seperti itu, kerap membeli buku lalu menumpuknya begitu saja. Ada keinginan kuat dan hasrat berapi-api saat belum mendapatkan suatu buku. Berburu mati-matian di beberapa toko buku offline maupun online.

Semakin bergairah saat menyadari buku itu sulit didapatkan. Sialnya, begitu buku berhasil dibeli, perasaan bahagia dan nyaman mematikan hasrat untuk membacanya. Saya pun menjadi tsundoku.

Mengapa menjadi Seorang Tsundoku?

Fenomena ini cukup umum, terutama di kalangan pecinta buku yang selalu tertarik membeli buku baru tetapi kesulitan mendapatkan waktu untuk membacanya.

Boleh jadi seperti saya, membeli buku karena penasaran lalu berusaha mati-matian memburunya. Proses perburuan yang rumit dan panjang akhirnya menghabiskan energi untuk membacanya. Berikut beberapa alasan mengapa kita menjadi tsundoku:

1. Hasrat lebih besar dari waktu 

Antusiasme membeli buku sering kali lebih besar daripada waktu yang tersedia untuk membacanya. Kita kerap tergiur diskon yang ditawarkan saat ada pameran buku, padahal pada waktu yang bersamaan pekerjaan kantor atau tugas kuliah tengah banyak-banyaknya. Alhasil, buku-buku yang kita beli hanya menumpuk di kolong meja.

Dari sudut pandang Heidegger, manusia hidup dalam keterbatasan waktu (being-toward-death). Tsundoku bisa dipahami sebagai refleksi dari kecemasan eksistensial—kita mengumpulkan buku seolah-olah bisa membaca semuanya, padahal waktu kita terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun