2. Estetika & identitas
Buku juga bisa jadi bagian dari dekorasi atau simbol intelektualitas, walaupun belum semuanya dibaca. Ada beberapa orang yang menganggap dirinya keren atau intelek jika punya buku “Das Capital” atau “Madilog’-nya Tan Malaka. Padahal buku-buku itu sekedar pajangan tanpa cukup gairah untuk membacanya.
Dalam dunia yang penuh informasi (infobesity), seperti yang dikritik oleh Jean Baudrillard, tsundoku bisa dilihat sebagai konsekuensi dari masyarakat konsumtif yang lebih menghargai kepemilikan simbolis daripada esensi. Kita mungkin membeli buku bukan untuk membacanya, tetapi karena buku menjadi bagian dari identitas intelektual kita.
3. FOMO (Fear of Missing Out)
Takut ketinggalan buku bagus atau edisi langka, jadi langsung beli dulu sebelum kehabisan. Simpelnya seperti ini, saat komunitas membaca atau genk kita membicarakan sebuah buku yang tengah populer, kita merasa harus memilikinya. Padahal belum tentu genre buku itu sesuai dengan minat kita. Alhasil, bacaan itu sekedar memenuhi hasrat diri supaya tidak dianggap ketinggalan informasi.
4. Harapan untuk "suatu hari nanti"
Ada niat membaca, tapi terus tertunda karena kesibukan atau mood belum pas. Buku berhasil dibeli tetapi kesibukan lainnya masih menyita waktu. Alhasil buku-buku yang baru saja terbeli harus menunggu waktu yang tepat untuk dibaca.
5. Dopamin dari membeli, bukan membaca
Proses membeli buku memberi rasa senang dan kepuasan, meskipun buku itu akhirnya tidak langsung dibaca. Ini kerap saya alami dan terus saja terulangi. Terkadang antusiasme berburu buku lebih banyak menyita energy daripada kemauan membaca itu sendiri.
Mengatasi kebiasaan Tsundoku
Kalau kamu ingin mengatasi tsundoku, ada beberapa cara yang bisa dicoba. Beberapa cara ini bisa membantu mengurangi kebiasaan Tsundoku tanpa kehilangan minat membaca buku.