Mohon tunggu...
Kelas Penulis
Kelas Penulis Mohon Tunggu... -

sekumpulan penulis amatir yang sedang belajar (demi hidup yang lebih baik) Situs blog: https://kelaspenulis.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mesin Tik, Kakek, dan Ken

17 Oktober 2016   23:48 Diperbarui: 19 Oktober 2016   02:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: Anggota KelasPenulis

Baru saja, kakek Ken Dharma meninggal.

Mulanya, Ken berpikir, hal-hal inilah yang selalu mengingatkan dia tentang kakeknya: ritme dan melodi mesin ketik, besi beradu bantalan keras, irama jari, serta parade perkusi jari menekan tombol mesin tik.

Pada mulanya, Ken berpikir ini tentang mesin tik.

Saking mengendapnya memori itu, ia masih sering melihat sang kakek seperti sedang duduk di mejanya. Meja di pojok ruang keluarga, menghadap dinding warna hijau daun kelapa. Tentu saja dengan mesin tik yang selalu berbunyi.

Jari kakeknya seolah-olah bernyanyi, mengirim melodi ke teman, kolega, juga keluarga. Nyanyi tentang persahabatan, cinta, kesetiaan, hingga kebajikan.

Sampai kini, Ken seolah-olah masih bisa mendengar jari sang kakek sedang berhenti sebentar. Kepalanya sambil mendongak, mata si kakek melihat ke mana, entah. Ke awang-awang, entah.

Barangkali mencari kata, cerita, atau memori. Barangkali. Ken tak pernah bertanya.

Begitu menemukannya, jari si kakek mulai menari lagi.

Berhenti sebentar.

Menari lagi.

Berhenti. Mengetik lagi.

Begitu seterusnya seperti yang Ken ingat ketika ia masih bocah. Ken suka mencuri-curi pandang, ingin tahu apa gerangan yang dilakukan kakek dengan mesin ketik itu.

Karena pada mulanya, Ken berpikir, ini semua tentang mesin ketik. Mesin ketik dan melodi jari kakek menari.

Sampai suatu hari, Ken yang sudah remaja, membongkar hadiah ulang tahun dari kakeknya. Isinya? Mesin ketik baru! Dan lebih modern dari milik kakeknya!

“Wow! Keren banget!” seru Ken, waktu itu. “Terima kasih, Eyang!”

Sayangnya, Ken belum bisa mengetik. Di muka mesin tik, ia membabi-buta, meniru kecepatan si kakek mengetik. Meniru-niru si kakek agar bisa menciptakan irama dan melodi yang sama.

Tik, cetak, cetik, cetak. Cetik. Cetak. Tik. Cetak! Tik. Tak! Ting!

Satu hal saja yang dia ketik di sana. Satu hal dua frase: namanya sendiri.

Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Ken Dharma. Sampai penuh kertas putih itu dengan tiga huruf – enam huruf: Ken Dharma.

Tapi, lama-lama Ken makin mahir mengetik. Saat kuliah Jurusan Filsafat di STF Driyarkara sekaligus Studi Sastra Inggris di Universitas Indonesia, mesin ketik pemberian kakeknya itulah yang selalu setia menemani Ken. Melodi dan iramanya tercetak di tugas-tugas kuliah.

Dan Ken masih selalu ingat, jari-jari kakeknya sangat indah menari-nari di tombol-tombol mesin tik itu. Mulanya, Ken mengira ini tentang mesin ketik. Ken mengira, memori ini tentang kecepatan mengetik kakeknya. Mulanya.

Sekarang, Ken mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 70 Jakarta. Sesekali, dia membacakan karya-karya sastra. Bahwa karya sastra bukan hanya sebentuk materi bahan ajar. Lebih dari itu, karya sastra merupakan sumber kekayaan hidup sehari-hari.

Karya sastra makin membuat Ken mengerti dirinya, menemukan dirinya, bahwa ia lebih mampu jadi seseorang yang perhatian kepada orang lain ketika mendengarkan, ketimbang berbicara. Apalagi, berbicara tentang dirinya.

“Tidak. Karya sastra bukan cerita tentang penulisnya yang membesarkan diri. Bukan tentang kebesaran penulisnya. Tetapi cerita tentang segala yang mungkin dan menjadi milik semua orang. Bukan gue, aku, saya, ane, yang hebat,” kata Ken di kelas suatu hari.

Bahwa dengan karya sastra, Ken memperoleh kebajikan, kutipan, pengalaman, memori, cerita dan lain sebagainya juga dari penulis lain. Orang lain.

Orang lain yang memberi lebih dari sekadar dirinya. Orang lain yang sebagai penulis, sudah melalui masa-masa sulit, hasil riset, perjuangan, dan berbagai macam surplus untuk kemudian dia bagikan ke pembaca. Seutuhnya. Lebih, malah.

Waktu itu, sepulang dari pemakaman si kakek, Ken duduk di depan mesin ketik kakeknya.

Ia masih mendengar samar-samar melodi jari si kakek menekan-nekan tombol mesin itu. Sambil terpaku, Ken ingat kakeknya sesekali berhenti sebentar. Kepala mendongak dan mata memandang entah ke mana.

Ken sadar. Memori ini bukan cuma tentang mesin ketik. Atau, tentang kecepatan mengetik.

Semua ini lebih dari mesin tik, lebih dari melodi dan jari menari, lebih dari momen kakeknya terpaku mencari-cari sesuatu.

Semua memori ini tentang tulisan dan cerita yang punya kekuatan dan berguna untuk orang lain.

Ini tentang kerelaan hati bersabar untuk memilih kata, memilah huruf dan makna, menentukan cerita yang terbaik bagi pembaca. Jelas ini bukan tentang kepala yang mendongak atau mata memandang entah ke mana.

Ini tentang peduli. Mendengarkan masa lalu, mengolah memori, memahami pengalaman jatuh, lalu memberikannya kepada pembaca.

Bukan hanya memberikan diri sendiri, tetapi memberi lebih dari diri kita sendiri sebagai penulis.

Ini tentang karya sastra yang ditulis penulis dengan tulus agar pembaca atau orang lain menjadi terhibur, belajar, dan menerima kenyataan yang lebih dari milik si penulis.

“Memori ini bukan tentang nama kondang kakek Pramoedya Ananta Toer. Bukan tentang sikap narsis dan ketenaran. Ini tentang peduli,” tulis Ken di mesin ketik kakeknya.

Terima [spasi] kasih [koma] [spasi] Eyang. Ting!

*** selesai ***

Klik: KelasPenulis

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun