Mohon tunggu...
Wartakastrat
Wartakastrat Mohon Tunggu... Kastrat

Dalam upaya publikasi atau ekspansi informasi guna meningkatkan pengetahuan masyarakat, Departemen Kajian dan Aksi Strategis (Kastrat) membentuk suatu fungsi yang bernama Wartakastrat. Fungsi ini bergerak dalam bidang penulisan artikel atau kajian populer yang dipublikasikan melalui media berita online.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi di Balik Layar: Polarisasi Opini di Era Media Sosial

21 Mei 2025   22:35 Diperbarui: 21 Mei 2025   23:01 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

III. Bahaya bayangan-bayangan samar di dalam gua

Lantas, apa risiko dan dampak negatif yang dapat terjadi akibat polarisasi opini politik? Dampak negatif dari polarisasi opini tidak hanya berupa konflik adu wacana antarkubu, tapi juga kerusakan sosial dan demokrasi. Ketika masyarakat terjebak dalam informasi-informasi bias, akan terjadi perpecahan, kesulitan dialog lintas pandangan, dan potensi "penyetiran" opini oleh pihak-pihak tertentu. Mari kita kembali pada contoh kasus pasca-Pilpres setelah terpilihnya Prabowo-Gibran. Setelah Prabowo-Gibran dilantik dan pemerintahan baru mulai berjalan, sudah saatnya masyarakat bersama menjadi agen-agen pengawas pemerintah. Namun sisa-sisa perpecahan yang masih ada dari proses Pilpres sebelumnya menghasilkan sejumlah dampak negatif di media sosial. Ketika timbul ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan, ketimbang bersatu mengungkapkan kritik kepada pemerintah, banyak pihak dalam masyarakat sibuk saling menyalahkan pilihan politik satu sama lain semasa Pilpres sebelumnya. 

Dalam ruang demokrasi, polarisasi opini politik juga dapat membawa sejumlah potensi dampak negatif. Dalam proses Pemilihan Umum, polarisasi dapat mengamplifikasi intensitas kampanye negatif. Banyak pendukung membagikan konten-konten dengan narasi provokatif yang menjelek-jelekkan calon tertentu. Dengan adanya echo chamber, narasi tersebut akan semakin mudah membeludak dan dijadikan viral oleh pendukung-pendukung pihak yang berlawanan, yang kemudian dapat mengaburkan batas antara kenyataan politik dan narasi fiktif. Hal tersebut berpotensi menyebabkan calon-calon pemilih yang terekspos dengan konten-konten demikian terjebak dalam ilusi bahwa pilihan calon mereka merupakan hasil keputusan yang mereka ambil sendiri secara objektif dan terbaik sesuai dengan kenyataan politik, terlepas dari benar tidaknya narasi-narasi yang mendorong munculnya pilihan tersebut. 

Potensi dampak negatif tidak berhenti sampai di tahap Pemilu. Selama berjalannya pemerintahan, pemerintah Indonesia diduga secara aktif menggunakan cybertrooper atau lebih populer dikenal dengan buzzer untuk menyebarkan narasi-narasi guna mengarahkan opini dan perhatian masyarakat menuju kebenaran tertentu. Berdasarkan kajian dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2020, pemerintah menghabiskan dana sebesar Rp90,45 miliar untuk membayar influencer mensosialisasikan program-program pemerintahan.[6] Buzzer pada dasarnya bekerja dengan cara memanfaatkan konsep echo chamber dan spiral of silence dengan membombardir media sosial menggunakan narasi-narasi terkontrol. Diduga bahwa tindakan buzzing tersebut dilakukan dengan harapan berhasil meredam suara-suara yang memberikan kritik maupun citra negatif kepada pihak pemerintahan. Masyarakat yang terpengaruh oleh narasi-narasi tersebut dapat membuat mereka sebagai agen pengawas pemerintahan tak lagi objektif dalam menjalankan perannya.

IV. Jalan keluar dari gua

Keluar dari polarisasi opini politik tidaklah mudah, tetapi mungkin untuk dilakukan. Kita dapat menjadikan diri kita lebih kritis dan bijak dalam menggunakan media sosial dengan sejumlah langkah-langkah praktis yang sederhana. Salah satunya adalah meningkatkan kesadaran akan cara kerja algoritma. Setelah memahami cara kerja algoritma media sosial, cobalah untuk mengikuti postingan-postingan akun dari berbagai spektrum politik, termasuk yang kita cenderung tidak setuju. Dengan begitu, kita dapat memulai melihat suatu kebenaran dengan kacamata yang lebih luas dan membangun penilaian pribadi secara objektif. Cara lain yang juga mudah untuk dilakukan adalah berdiskusi dengan orang-orang secara luring. Kita mungkin akan menemukan betapa banyaknya orang-orang dengan pemikiran yang sangat berbeda dengan kita seringkali tinggal tak jauh dari kita.

Peran platform digital juga penting. Transparansi algoritma, pembatasan konten ekstrem, dan dukungan terhadap jurnalisme berkualitas dapat membantu menekan dampak negatif dari polarisasi opini politik. Di sisi lain, pendidikan politik yang menekankan dialog, penilaian pribadi objektif, dan empati harus diperkuat.

V. Akhir kata

Gua Plato menunjukkan bahwa kenyataan sering kali lebih rumit daripada bayangan-bayangan semu  yang kita lihat. Jika kita ingin memahami sesama warga negara, membangun demokrasi yang sehat, dan hidup dalam masyarakat yang adil, kita harus berani keluar dari gua digital kita. Bukan untuk menolak pandangan kita sendiri, tetapi untuk melihat bahwa kebenaran tidak hanya satu, dan tentunya tidak selalu sesederhana itu.

"In a world deluged by irrelevant information, clarity is power"

-- Yuval Noah Harari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun