Pada akhirnya, pendosa itu selalu wanita. Karena gemulainya yang anggun, ia tak diperbolehkan untuk menyela. Namun karena marwahnya sebagai pendamping yang berbakti, ia dituntut serba bisa.
Orang tidak bertanya kenapa ia berteriak, hanya mencela mengapa ia harus memberontak? Orang tidak bertanya kenapa ia kesepian? Hanya mencaci mengapa harus menyerahkan kesucian!
Ia tak punya kuasa, namun harus menata semuanya. Ia dianggap mahluk lemah yang tak berdaya, namun harus kuat menahan segalanya.
Jika berkeluh atas hal yang menimpanya, ia dianggap tidak kompeten. Jika bertanya soal yang menyulitkannya, ia dianggap tidak sabaran. Jika ia kalah menjaga kehormatannya, ia dianggap tidak pandai menjaga diri. Jika ia menang mempertahankan harga dirinya, ia dianggap penuh keangkuhan.
Ia dianggap egois dan keras kepala. Namun tidak dibelai dan dimanja.
Pada akhirnya wanita hanya serpihan tulang rusuk seseorang. Ia bengkok dan sendirian,--jika tanpa arahan dan pendampingan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI