Blogcompetition, Pendidikan Bermutu, Siap Hadapi Tantangan Abad 21–Aku sudah tidak lagi merajuk. Soal mimpiku yang terlalu tinggi, atau harapku yang terlalu banyak. Tentang ensiklopedia sistem tata surya yang mendebarkan dadaku, atau museum sejarah yang begitu ku dambakan. Tidak. Aku tidak lagi muluk-muluk memimpikan hal itu. 12 tahun sekolah, sudah terlalu mewah untukku.
Dahaga pengetahuanku yang tak pernah sampai, serta rasa penasaranku yang tak kunjung berkurang--tidak lagi menjadi obsesiku. Setidaknya aku tidak lagi dendam akan kenyataan bahwa aku kalah dalam hal itu.
Sebenarnya dari mana awal mula mimpi itu pupus? Apakah rasa lelah? Atau putus asa? Aku tak yakin, namun semua itu tak cukup untuk menggoyahkan hasratku. Lantas apa yang sebenarnya menjadi belenggu itu?
Batasan. Ketimpangan. Ketidakadilan. Kesenjangan. Kesetaraan gender. Lingkungan.
Menjadi seorang wanita bukanlah aib. Jika saja lingkungan dan budaya yang membuat pola pikir seperti itu tidak terbentuk. Di zona Patriarki, seksisme dan misoginis adalah tantangan utama bagi para wanita. Â
"Tidak ada yang dibeda-bedakan, semua sesuai porsi-nya! Itu yang terbaik untukmu!" begitu katanya.
Yang terbaik? Sekolah seadanya, cukup jangan buat masalah, tidak perlu terlalu menonjol, cukup belajar, dan pulang lagi ke rumah. Selesaikan pekerjaan rumah, urus adik-adik, siapkan makanan untuk orang rumah, cuci baju dan perabotan. Itu adalah yang utama dan terbaik. Begitu?
Lantas mengapa hati ini berdebar melihat mereka yang berbaris dengan seragam putih sembari hormat menatap ke arah tiang bendera, dada ini sesak saat melewatkan ekskul Pramuka, hati ini sakit saat tak bisa ikut ke perpustakaan kota.
Apakah itu adalah bentuk pemberontakan? Apakah wanita tidak perlu terlalu berdaya. Cukup bisa memasak dan mengurus rumah. Toh akhirnya menjadi penguasa dapur?
Namun mengapa? Saat sudah menjadi Ibu rumah tangga, wanita justru dituntut untuk serba bisa? Tidakkah itu adalah sebuah ketimpangan ideologi yang tidak berdasar? Ah! Tidak, itu bentuk penjajahan. Pembodohan terhadap kaum pendidik pertama. Sungguh ironi dan memilukan, betapa miris mengingat pelakunya adalah warga negara sendiri, dari keluarga sendiri.
Ayah, Ibu, Paman, Bibi, Nenek, Kakek, aku tidak lagi marah. Aku tidak kesal ataupun dendam. Hanya saja ... Jika itu adalah sebuah bentuk kasih sayang, mengapa aku tidak bahagia?
Aku ingin setara bukan untuk menjadi lebih tinggi dibanding para lelaki. Aku ingin setara untuk dihargai sebagai sesama manusia. Aku tidak ingin menjadi lebih pintar untuk merendahkan siapapun. Aku ingin memiliki pengetahuan untuk kebutuhan diriku sendiri. Aku ingin layak, dan memantapkan diri sebagai seorang pendamping. Karena jika bagimu wanita hanyalah peran pendukung, maka perlu handal untuk mendukung dengan baik.
Seorang Ibu juga perlu cerdas. Seorang Ibu perlu bijak dalam menyelesaikan masalah. Sekali lagi sebagai pendidik pertama, sebagai penanggung jawab utama--bagi anak-anaknya, bagi keluarganya.
Kesetaraan gender perlu diperjuangkan dengan cerdas dan baik. Tanpa melupakan marwah wanita sebagai sosok yang perlu anggun dan bijaksana. Baik dalam hal pendidikan, pekerjaan, sosial, maupun yang lainnya. Bukan untuk menonjolkan salah satu ataupun merendahkan yang lainnya. Namun untuk mengisi peran satu sama lain sebagaimana mestinya. Bukankah akan lebih mudah mencapai tujuan jika bekerja sama?
Namun, masa itu sudah lewat. Meski tidak sesuai harapan, peranku tetap tidak berubah. Kini aku seorang Ibu. Tugasku adalah memastikan bahwa aspirasi pendidikan bermutu untuk semua–sama rata tanpa adanya perbedaan. Penanaman nilai moral, etika, adab, hingga tanggung jawab domestik itu perlu diajarkan sejak dini–dengan setara, kepada putra dan putriku. Karena pendidikan berkualitas, bukan soal pergi ke sekolah saja. Namun memastikan anak-anak tumbuh menjadi pribadi dengan nalar yang kritis serta hati yang memiliki empati dan simpati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI