2. Sarana dan Prasarana: Dari Gedung Menuju Gawai Interaktif
Kemendikdasmen juga menargetkan renovasi 16.111 satuan pendidikan dan pemberian perangkat pembelajaran digital berupa interactive flat panel (smartboard). Di era pascapandemi, langkah ini menjadi penting sebagai bentuk modernisasi ruang belajar yang relevan dengan generasi digital.
Meski demikian, pembaruan sarana tidak boleh berhenti pada wujud fisik atau teknologi canggih. Pendidikan yang bermakna menuntut pemanfaatan sarana itu secara kreatif dan kontekstual. Gawai digital hanya sebaik guru yang menggunakannya. Tanpa pelatihan yang memadai, smartboard bisa berakhir sebagai hiasan kelas, bukan alat belajar aktif.
Program ini perlu dibarengi dengan penguatan literasi digital bagi guru dan siswa. Integrasi teknologi seharusnya mendorong kolaborasi, bukan menambah kesenjangan antarwilayah. Inilah tantangan strategis: bagaimana menjadikan teknologi sebagai jembatan pemerataan, bukan simbol kemewahan pendidikan urban.
3. Tunjangan dan Kompetensi: Mengembalikan Martabat Profesi Guru
Abdul Mu’ti juga menyoroti pentingnya tunjangan sertifikasi dan peningkatan kompetensi guru. Langkah ini menunjukkan kesadaran pemerintah bahwa kualitas pendidikan tak mungkin tumbuh di atas kesejahteraan yang timpang. Guru yang sejahtera lebih siap mendidik dengan hati dan visi.
Program pelatihan mencakup pembelajaran mendalam, bimbingan konseling, serta penguasaan koding dan AI. Ini menandai transformasi paradigma dari pengajaran berbasis hafalan menuju kompetensi abad ke-21. Namun, pelatihan hanya efektif bila disertai sistem evaluasi dan tindak lanjut yang berkelanjutan.
Martabat guru tidak semata diukur dari tunjangan, tetapi dari penghargaan sosial yang melekat pada profesinya. Di sinilah peran pemerintah dan masyarakat: menumbuhkan ekosistem yang mendukung, bukan menghakimi. Seperti kata Paulo Freire, “Pendidikan sejati lahir dari dialog, bukan dari dominasi.”
4. AI dan Koding: Menyiapkan Anak Bangsa Hadapi Dunia Baru
Integrasi AI dan koding ke dalam kurikulum mencerminkan kesadaran baru: dunia pendidikan harus sejalan dengan perubahan zaman. Di tengah revolusi digital, penguasaan logika pemrograman dan kecerdasan buatan bukan lagi keahlian khusus, melainkan kebutuhan dasar.
Namun, penerapan AI di sekolah menuntut keseimbangan antara inovasi dan nilai kemanusiaan. Teknologi yang tidak diimbangi dengan etika bisa melahirkan generasi mekanis tanpa empati. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus berjalan beriringan dengan literasi digital.