Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

'Antara Wilis dan Gunung Kelud', Potret Kemanusiaan di Tengah Revolusi

21 September 2025   18:49 Diperbarui: 21 September 2025   18:49 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Dalam perang, musuh bisa saja sahabat, dan sahabat bisa berubah menjadi musuh—semua bergantung pada kepercayaan.” (Dok. Goodreads)

'Antara Wilis dan Gunung Kelud',  Potret Kemanusiaan di Tengah Revolusi

“Dalam perang, musuh bisa saja sahabat, dan sahabat bisa berubah menjadi musuh—semua bergantung pada kepercayaan.”

Oleh Karnita

Pendahuluan

Dalam rangka Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Tentara Nasional Indonesia (TNI), Minggu, 21 September 2025, penulis hadirkan ulasan sebuah buku kumpulan cerpen. Bagaimana wajah revolusi Indonesia jika dilihat bukan dari sudut heroisme besar, melainkan dari kisah-kisah kecil yang menggetarkan hati? Pertanyaan ini seolah menggiring kita memasuki dunia cerita dalam Antara Wilis dan Gunung Kelud karya Toha Mohtar. Sebuah kumpulan cerpen yang tidak hanya menghadirkan dentuman perang, tetapi juga detak hati manusia di tengah kecurigaan, perlawanan, dan secercah kemanusiaan yang bertahan.

Buku ini diterbitkan oleh Djambatan pada 1989, sebuah penerbit yang kerap menghadirkan karya dengan tema kolonialisme, humanisme, dan perjuangan bangsa. Toha Mohtar sendiri dikenal sebagai pengarang yang kuat dengan latar revolusi, lahir dari pengalaman nyata yang ia jalani di Kediri dan sekitarnya. Pengalaman itu menjelma menjadi cerita-cerita yang merekam denyut sejarah, tetapi tetap menghadirkan nuansa rekaan sastra.

Ketertarikan membaca karya ini semakin relevan hari ini, ketika bangsa sedang berupaya memperkuat identitas kebangsaan sekaligus merawat nilai kemanusiaan. Di tengah wacana politik yang sering biner—kawan atau lawan, merah atau putih—cerita Toha Mohtar memberi ruang refleksi: bahwa musuh pun bisa punya wajah manusiawi, dan perang tak selamanya hitam-putih.

Sinopsis

Cerpen pertama, “Meneer Charlie Boon”, menampilkan kisah seorang Belanda bernama Boon yang datang ke Indonesia pada 1948. Ia bertemu Mas Har dan para pejuang muda seperti Ahmad, Irkam, dan Seno. Boon berniat melaporkan kondisi Indonesia ke KTN dengan perspektif yang adil, namun ia selalu diselimuti kecurigaan. Meski Mas Har percaya padanya, keraguan tetap menghantui para pejuang.

Cerpen kedua, “Sersan Wolters”, berkisah tentang Wolters, seorang serdadu Belanda yang berhati baik. Ia menolong penduduk sipil dengan mengantarkan obat, meski harus menembus lorong-lorong gerilyawan. Tragisnya, niat baik itu justru berujung kematian karena ia ditembak gerilyawan yang tak tahu perbuatannya. Ironi muncul ketika penduduk mengetahui Wolters adalah orang yang pernah menyelamatkan mereka.

Cerpen ketiga, “Perginya Seorang Sahabat”, mempertemukan tokoh-tokoh dari dua cerita sebelumnya. Ahmad, Seno, Irkam, dan Mas Har berbicara tentang hilangnya Wolters. Kisah ini menjadi simpul yang menegaskan betapa perang seringkali menghapus batas kemanusiaan. Hilang berarti tewas, dan tewas berarti hanya meninggalkan kenangan pahit bagi mereka yang pernah ditolong.

Secara keseluruhan, ketiga cerpen ini menghadirkan potret masa revolusi di kota K dan sekitarnya, dengan tokoh-tokoh yang bisa saja nyata ataupun rekaan. Latar sosialnya mencerminkan ketegangan antara perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan sisi manusiawi orang asing yang terjebak di dalamnya.

Kisah-kisah ini bukan hanya tentang perang, melainkan juga tentang kepercayaan, pengkhianatan, dan pilihan-pilihan tragis. Dari sini pembaca diajak memahami bahwa sejarah bukan hanya ditulis dengan senjata, tetapi juga dengan rasa takut, kecurigaan, dan secercah kebaikan yang kerap terabaikan.

Musuh yang Tak Selalu Musuh

Cerita Toha Mohtar mengingatkan kita bahwa dalam situasi perang, label “musuh” kerap terlalu cepat disematkan. Charlie Boon adalah contoh nyata: seorang Belanda yang sebenarnya ingin membantu Indonesia, tetapi tetap dicurigai.

Kecurigaan itu lahir dari pengalaman kolektif bangsa yang dijajah berabad-abad. Bagaimana mungkin seorang Belanda bisa dipercaya? Namun, Toha Mohtar menyelipkan kemungkinan lain: bahwa ada yang datang bukan untuk menjajah, melainkan untuk menyaksikan dan bahkan membantu.

Dalam hal ini, cerpen-cerpen tersebut mengajak pembaca untuk tidak terjebak dalam narasi tunggal. Ada ruang abu-abu yang menyisakan pertanyaan: apakah kita terlalu cepat menutup pintu kepercayaan?

Tragisme dalam Revolusi

Kematian Wolters adalah simbol tragis dari perang. Seorang serdadu yang menolong rakyat justru dibunuh oleh gerilyawan, tanpa sempat menjelaskan niatnya. Peristiwa ini menggambarkan betapa perang menghapus kemungkinan dialog.

Toha Mohtar menekankan bahwa dalam revolusi, waktu untuk bertanya nyaris tidak ada. Musuh datang, peluru meluncur, keputusan diambil secepat mungkin. Dalam pusaran itu, kebaikan pribadi seorang serdadu tidak lagi berarti.

Kisah ini menghadirkan ironi pahit: revolusi yang diperjuangkan atas nama kemanusiaan justru bisa mengorbankan manusia yang paling manusiawi.

Potret Sosial yang Tertinggal

Latar kota K dan wilayah sekitarnya menjadi lebih dari sekadar latar fisik. Ia adalah potret sosial masyarakat Jawa Timur yang diguncang revolusi. Kecurigaan, kehilangan, dan tragedi membentuk wajah masyarakat yang penuh luka.

Tokoh-tokoh seperti Ahmad, Irkam, dan Seno mewakili generasi muda yang keras kepala, penuh keberanian, tetapi juga rentan curiga. Mereka adalah wajah gerilya, wajah yang sering terlupakan dalam narasi besar sejarah.

Lewat kisah-kisah ini, Toha Mohtar merekam dimensi sosial yang tak tertulis dalam buku sejarah resmi, tetapi hidup dalam ingatan kolektif masyarakat.

Refleksi Kemanusiaan

Di balik dentuman senjata, cerita-cerita Toha Mohtar mengingatkan bahwa perang selalu menyisakan korban kemanusiaan. Musuh yang baik hati pun bisa berakhir sebagai jasad di sungai.

Refleksi ini relevan untuk zaman sekarang, ketika kita masih sering menilai orang hanya dari identitasnya: ras, bangsa, agama, atau kelompok politik. Buku ini mengingatkan agar tidak tergesa menghakimi, karena setiap orang membawa kisah dan niat yang bisa jadi berbeda dari prasangka kita.

Inilah kekuatan karya sastra: menghadirkan ruang kontemplasi, bahkan dari kisah kelam masa lalu.

Keunggulan dan Kelemahan

Keunggulan utama kumpulan cerpen ini adalah kekuatan latar historis yang hidup. Toha Mohtar berhasil menyatu dengan konteks sosial 1948, menghadirkan detail-detail lokal yang membuat cerita terasa otentik.

Intrinsiknya, karakterisasi tokoh terbangun kuat meski dalam ruang narasi pendek. Mas Har, Boon, Wolters, hingga Seno tampil sebagai figur yang kompleks—tidak hanya hitam-putih.

Namun, kelemahannya terletak pada alur yang kadang terlalu cepat, membuat pembaca kehilangan momen untuk memahami konflik batin tokoh lebih dalam. Beberapa bagian terasa lebih dokumenter daripada dramatik.

Dari segi ekstrinsik, karya ini sangat bernilai karena mengangkat sisi lain revolusi. Meski demikian, generasi pembaca muda bisa jadi merasa asing dengan konteks sejarah yang kurang dijembatani dengan penjelasan.

Penutup

Karya Toha Mohtar dalam Antara Wilis dan Gunung Kelud adalah sebuah pengingat bahwa perang bukan hanya tentang senjata, melainkan juga tentang manusia. Kisah-kisah kecil di dalamnya membuka ruang bagi refleksi tentang kecurigaan, kepercayaan, dan kemanusiaan.

Relevansi karya ini terasa nyata di masa kini, ketika bangsa masih terus belajar untuk menumbuhkan rasa percaya, bahkan kepada mereka yang berbeda latar dan identitas. Sastra menghadirkan kemungkinan lain untuk memahami sejarah dengan cara yang lebih manusiawi.

Sebagaimana dikatakan Albert Camus, “Dalam kedalaman musim dingin, akhirnya aku belajar bahwa dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.” Kutipan ini sejalan dengan semangat karya Toha Mohtar—bahwa di tengah kekerasan revolusi, selalu ada secercah kemanusiaan yang tak bisa dipadamkan.

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mohtar, Toha. 1989. Antara Wilis dan Gunung Kelud. Jakarta: Djambatan.

Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun