Namun, kelemahannya terletak pada alur yang kadang terlalu cepat, membuat pembaca kehilangan momen untuk memahami konflik batin tokoh lebih dalam. Beberapa bagian terasa lebih dokumenter daripada dramatik.
Dari segi ekstrinsik, karya ini sangat bernilai karena mengangkat sisi lain revolusi. Meski demikian, generasi pembaca muda bisa jadi merasa asing dengan konteks sejarah yang kurang dijembatani dengan penjelasan.
Penutup
Karya Toha Mohtar dalam Antara Wilis dan Gunung Kelud adalah sebuah pengingat bahwa perang bukan hanya tentang senjata, melainkan juga tentang manusia. Kisah-kisah kecil di dalamnya membuka ruang bagi refleksi tentang kecurigaan, kepercayaan, dan kemanusiaan.
Relevansi karya ini terasa nyata di masa kini, ketika bangsa masih terus belajar untuk menumbuhkan rasa percaya, bahkan kepada mereka yang berbeda latar dan identitas. Sastra menghadirkan kemungkinan lain untuk memahami sejarah dengan cara yang lebih manusiawi.
Sebagaimana dikatakan Albert Camus, “Dalam kedalaman musim dingin, akhirnya aku belajar bahwa dalam diriku ada musim panas yang tak terkalahkan.” Kutipan ini sejalan dengan semangat karya Toha Mohtar—bahwa di tengah kekerasan revolusi, selalu ada secercah kemanusiaan yang tak bisa dipadamkan.
Daftar Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mohtar, Toha. 1989. Antara Wilis dan Gunung Kelud. Jakarta: Djambatan.
Rosidi, Ajip. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI