Demi Anak Sekolah, Ayah Rela Tinggal di Sawah
"Cinta orang tua adalah rumah yang tak pernah runtuh, meski berdiri di tengah keterbatasan."
Oleh Karnita
Pendahuluan
Bagaimana mungkin seorang ayah rela menukar kenyamanan rumah dengan gubuk di tengah sawah? Pertanyaan itu mencuat dari berita Pikiran Rakyat edisi 13 September 2025 berjudul “Kisah Haru Emon, Ayah di Majalengka Rela Pindah ke Gubuk di Tengah Sawah demi Anak Dekat Sekolah.” Kisah ini menggelitik nurani kita, sebab di tengah derasnya pembangunan, masih ada warga yang berjuang keras demi akses pendidikan.
Emon, seorang ayah di Majalengka, memilih langkah ekstrem: meninggalkan rumah lamanya dan menempati gubuk sederhana agar anaknya bisa lebih dekat ke sekolah. Keputusan itu mencerminkan urgensi pendidikan, sekaligus membuka mata kita akan masih lebarnya kesenjangan fasilitas dasar. Kisah sederhana ini relevan untuk direnungkan di tengah gencarnya wacana pemerataan pendidikan di Indonesia.
Saya tertarik mengulas kisah ini bukan sekadar karena menyentuh hati, melainkan karena ia merepresentasikan wajah nyata perjuangan orang tua di desa. Pendidikan yang mestinya mudah diakses justru memaksa sebagian orang mengambil pilihan sulit. Urgensinya jelas: akses pendidikan tidak boleh lagi menjadi hak istimewa, melainkan harus dirasakan semua kalangan tanpa terkecuali.
Pengorbanan Ayah yang Menjadi Teladan
Emon memutuskan pindah dari Desa Cengal ke sebuah gubuk kecil di Blok Suakwangi demi satu alasan: anaknya bisa sekolah tanpa harus menempuh perjalanan melelahkan. Pilihan ini tentu tidak ringan, sebab ia harus meninggalkan kenyamanan tempat tinggal yang lebih layak. Namun, tekadnya memperlihatkan bahwa cinta seorang ayah mampu melampaui keterbatasan fisik.
Kisah Emon mengajarkan bahwa orang tua adalah benteng pertama pendidikan anak. Meski hidup pas-pasan, ia tidak menyerah pada keadaan dan memilih jalan yang memberi peluang lebih besar bagi anaknya. Ada kritik tersirat di sini: mengapa akses pendidikan masih menyulitkan bagi warga desa?
Refleksi dari pengorbanan ini memberi kita pesan universal: pendidikan sejatinya bukan sekadar soal ruang kelas dan guru, melainkan juga soal komitmen keluarga. Namun, negara tetap harus hadir, sebab tidak semua ayah mampu mengambil langkah seberani Emon.
Potret Kesenjangan Fasilitas Pendidikan
Jarak sekolah yang memaksa Emon pindah ke gubuk sederhana adalah cermin ketidakmerataan pembangunan fasilitas pendidikan. Banyak anak di pelosok masih harus berjalan jauh melewati desa dan kebun untuk bisa bersekolah. Kondisi ini ironis bila dibandingkan dengan kota besar yang hampir setiap kelurahan memiliki sekolah lengkap.
Kesenjangan infrastruktur ini menjadi kritik sosial yang kuat terhadap perencanaan pembangunan daerah. Pemerataan pendidikan seharusnya tidak hanya menjadi jargon, melainkan diwujudkan dalam akses nyata yang memudahkan anak-anak desa. Apalagi, pemerintah pusat selalu menggaungkan visi “Indonesia Emas 2045” yang mustahil tercapai jika fondasi pendidikan tidak merata.
Refleksinya jelas: anak desa punya hak yang sama dengan anak kota untuk belajar dalam kondisi layak. Selama masalah akses masih menghantui, kisah seperti Emon akan terus berulang, dan bangsa ini kehilangan banyak potensi emas dari generasi muda.
Peran Pemerintah dalam Menyikapi Kasus Emon
Bupati Majalengka, Eman Suherman, turun langsung meninjau kehidupan Emon setelah kisah ini viral. Ia mengakui bahwa kondisi tinggal di gubuk dengan lantai tanah tidak lagi relevan di era sekarang. Pemerintah kemudian menyalurkan bantuan melalui Baznas, serta menjanjikan upaya pemindahan ke rumah layak huni.
Tindakan ini patut diapresiasi, namun juga perlu dikritisi. Bantuan yang diberikan bersifat jangka pendek, sementara problem utama adalah kesenjangan akses pendidikan di wilayah desa. Tanpa solusi struktural, kisah serupa akan terus muncul dengan wajah yang berbeda.
Refleksi dari peran pemerintah adalah perlunya kebijakan berkelanjutan. Bukan hanya memberikan bantuan simbolis, tetapi memastikan adanya sekolah yang mudah dijangkau, transportasi murah, serta rumah layak huni bagi masyarakat rentan.
Pendidikan sebagai Investasi Bangsa
Kisah Emon kembali mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan sekadar hak, melainkan investasi jangka panjang. Orang tua seperti Emon rela berkorban karena percaya bahwa masa depan anaknya ditentukan oleh pendidikan. Pandangan ini selaras dengan prinsip bahwa pendidikan adalah jalan mobilitas sosial.
Investasi pendidikan tidak bisa dibebankan pada individu atau keluarga semata. Negara harus hadir memberi jaminan agar setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Tanpa itu, ketimpangan akan terus melebar dan cita-cita pembangunan manusia Indonesia seutuhnya hanya tinggal retorika.
Refleksi kritisnya, bangsa ini tidak boleh menunggu lebih banyak Emon lain yang berjuang dalam keterbatasan. Kita semua, sebagai masyarakat dan pemerintah, harus menyadari bahwa masa depan Indonesia ditentukan oleh sejauh mana kita menghargai pendidikan hari ini.
Keteladanan yang Menggerakkan Nurani
Emon memberi teladan bahwa kasih sayang orang tua adalah energi yang tak pernah padam. Ia menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah, melainkan dorongan untuk mencari jalan. Dari gubuk sederhana itu, lahir sebuah narasi kuat tentang arti pengorbanan demi masa depan anak.
Namun, kita tidak boleh menormalisasi pengorbanan ekstrem ini sebagai hal biasa. Kisah Emon seharusnya menjadi alarm bagi kita semua tentang masih jauhnya cita-cita keadilan sosial. Ada tanggung jawab moral bersama untuk memastikan setiap anak berhak belajar tanpa harus melewati jalan berlumpur atau tinggal di gubuk reyot.
Refleksi akhirnya, kisah ini mengajarkan kita untuk lebih peka terhadap persoalan di sekitar. Pendidikan adalah pintu masa depan, dan kita semua memiliki peran untuk menjaganya tetap terbuka bagi setiap anak bangsa.
Penutup
Kisah Emon adalah potret kejujuran hidup: sederhana, penuh keterbatasan, tetapi sarat makna. Ia mengajarkan kita bahwa cinta orang tua adalah bentuk pengorbanan tertinggi yang tidak bisa dinilai dengan materi. Dalam diamnya gubuk bambu itu, tersimpan tekad besar untuk sebuah cita-cita: masa depan anak.
Sebagaimana pernah diungkapkan Nelson Mandela, “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Emon sudah membuktikan keyakinan itu dengan caranya sendiri. Kini, tugas negara dan masyarakat adalah memastikan perjuangan semacam ini tidak harus diulang di masa depan. Wallahu a'lam.
Disclaimer:
Artikel ini ditulis sebagai refleksi dan analisis sosial dari pemberitaan di media. Segala data mengacu pada sumber yang disebutkan.
Daftar Pustaka
- Purnawati, Tati. (2025). Kisah Haru Emon, Ayah di Majalengka Rela Pindah ke Gubuk di Tengah Sawah demi Anak Dekat Sekolah. Pikiran Rakyat. https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019644395
- Kompas.com. (2025). Akses Pendidikan di Desa Masih Terbatas. https://www.kompas.com
- Tempo.co. (2024). Ketimpangan Pendidikan di Indonesia: Tantangan Pemerataan. https://www.tempo.co
- Kemdikbud RI. (2025). Visi Pendidikan Indonesia 2045. https://www.kemdikbud.go.id
- Republika.co.id. (2025). Pemerintah Diminta Prioritaskan Infrastruktur Pendidikan Desa. https://www.republika.co.id
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI