Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Demi Anak Sekolah, Ayah Rela Tinggal di Sawah

13 September 2025   20:34 Diperbarui: 13 September 2025   20:34 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gubuk di tengah sawah. /Pexels.com/Stijn Dijkstra.

Demi Anak Sekolah, Ayah Rela Tinggal di Sawah

"Cinta orang tua adalah rumah yang tak pernah runtuh, meski berdiri di tengah keterbatasan."

Oleh Karnita

Pendahuluan

Bagaimana mungkin seorang ayah rela menukar kenyamanan rumah dengan gubuk di tengah sawah? Pertanyaan itu mencuat dari berita Pikiran Rakyat edisi 13 September 2025 berjudul “Kisah Haru Emon, Ayah di Majalengka Rela Pindah ke Gubuk di Tengah Sawah demi Anak Dekat Sekolah.” Kisah ini menggelitik nurani kita, sebab di tengah derasnya pembangunan, masih ada warga yang berjuang keras demi akses pendidikan.

Emon, seorang ayah di Majalengka, memilih langkah ekstrem: meninggalkan rumah lamanya dan menempati gubuk sederhana agar anaknya bisa lebih dekat ke sekolah. Keputusan itu mencerminkan urgensi pendidikan, sekaligus membuka mata kita akan masih lebarnya kesenjangan fasilitas dasar. Kisah sederhana ini relevan untuk direnungkan di tengah gencarnya wacana pemerataan pendidikan di Indonesia.

Saya tertarik mengulas kisah ini bukan sekadar karena menyentuh hati, melainkan karena ia merepresentasikan wajah nyata perjuangan orang tua di desa. Pendidikan yang mestinya mudah diakses justru memaksa sebagian orang mengambil pilihan sulit. Urgensinya jelas: akses pendidikan tidak boleh lagi menjadi hak istimewa, melainkan harus dirasakan semua kalangan tanpa terkecuali.

Pengorbanan Ayah yang Menjadi Teladan

Emon memutuskan pindah dari Desa Cengal ke sebuah gubuk kecil di Blok Suakwangi demi satu alasan: anaknya bisa sekolah tanpa harus menempuh perjalanan melelahkan. Pilihan ini tentu tidak ringan, sebab ia harus meninggalkan kenyamanan tempat tinggal yang lebih layak. Namun, tekadnya memperlihatkan bahwa cinta seorang ayah mampu melampaui keterbatasan fisik.

Kisah Emon mengajarkan bahwa orang tua adalah benteng pertama pendidikan anak. Meski hidup pas-pasan, ia tidak menyerah pada keadaan dan memilih jalan yang memberi peluang lebih besar bagi anaknya. Ada kritik tersirat di sini: mengapa akses pendidikan masih menyulitkan bagi warga desa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun