Demo 25 Agustus menegaskan satu hal: rakyat tidak diam ketika merasa haknya diabaikan. Tuntutan yang dibawa bukan hanya soal tunjangan, tetapi juga soal keadilan, kesejahteraan, dan legitimasi wakil rakyat. Ketika DPR gagal menjawab isu-isu tersebut secara langsung, wajar bila publik menafsirkan diam sebagai abai.
Wakil rakyat mestinya memahami bahwa setiap tunjangan, fasilitas, dan kebijakan yang mereka nikmati bersumber dari pajak rakyat. Artinya, publik memiliki hak moral untuk bertanya, mengkritik, bahkan menolak. DPR yang bijak bukan yang menutup telinga, tetapi yang membuka ruang dengar tanpa defensif. Di sinilah kepercayaan dibangun atau runtuh.
Refleksinya jelas: DPR bukan hanya institusi pengambil keputusan, melainkan simbol harapan demokrasi. Ketika simbol itu rapuh, rakyat mencari cara untuk mengingatkan. Demonstrasi hanyalah jalan terakhir ketika pintu dialog ditutup. Maka, menunda penjelasan hingga ada demo sama saja dengan menyalakan api di ladang kering.
5. Haruskah Rakyat Selalu Berteriak?
Pertanyaan besar yang menggantung: mengapa rakyat harus selalu berteriak untuk didengar? Mengapa tidak ada mekanisme komunikasi yang lebih bijak, terbuka, dan preventif? Jika DPR selalu menunggu gaduh untuk menjelaskan, berarti mereka gagal menjalankan fungsi representasi. Rakyat tidak ingin terus-menerus menjadi “pengawas jalanan”.
Sistem demokrasi seharusnya menyediakan ruang dengar yang aman dan terhormat bagi warga negara. DPR bisa mengadakan forum terbuka, konsultasi publik, atau bahkan kampanye literasi kebijakan. Dengan cara itu, polemik dapat dicegah, dan energi bangsa bisa diarahkan untuk hal-hal produktif. Demonstrasi seharusnya menjadi opsi terakhir, bukan satu-satunya jalan.
Refleksi akhirnya: rakyat berhak didengar tanpa harus turun ke jalan. DPR yang bijak adalah yang menanggapi keresahan rakyat dengan jernih sebelum jadi amarah. Karena sejatinya, komunikasi politik bukan soal menjawab, melainkan soal mendengar.
Penutup
Rangkaian demo 25 Agustus 2025 di Senayan memberi pesan moral: jangan tunggu gaduh baru jelaskan kebijakan. Wakil rakyat yang bijak mestinya proaktif menyampaikan maksud, bukan defensif setelah protes membesar. Komunikasi yang tertunda hanya memperpanjang jurang ketidakpercayaan.
"Demokrasi yang sehat bukan lahir di jalanan, melainkan di ruang dialog yang terbuka." Kita belajar dari episode ini bahwa politik bukan sekadar soal angka, melainkan soal rasa. Saat DPR berani mendengar sebelum rakyat berteriak, itulah saat demokrasi kembali berdenyut. Wallahu a'lam.
Disclaimer