Di titik ini, DPR mestinya menjadikan isu tunjangan rumah sebagai cermin kepekaan sosial. Penjelasan Dasco memang meredam sebagian polemik, tetapi sayangnya datang setelah protes rakyat pecah. Inilah yang membuat kebijakan terasa seperti defensif, bukan proaktif. Pertanyaan mendasarnya: apakah DPR benar-benar mendengar, atau hanya menjawab setelah disudutkan?
2. Demonstrasi Sebagai Bahasa Politik Rakyat
Demo 25 Agustus 2025 di Senayan adalah pengingat keras bahwa suara rakyat tidak selalu tersalurkan lewat ruang formal. Tabur bunga sebagai simbol “matinya demokrasi” menunjukkan kreativitas mahasiswa dalam menyampaikan kritik. Namun, ketika ruang dialog minim, bahasa simbolik itu berubah menjadi bentrokan di jalanan. Rakyat pun akhirnya berbicara lewat jalan yang paling keras.
Fenomena ini seharusnya tidak lagi dipandang sebagai ancaman semata. Demonstrasi adalah bahasa politik ketika saluran komunikasi formal tersumbat. Justru ketika DPR menunggu rakyat turun ke jalan baru memberi klarifikasi, mereka mengakui kegagalan komunikasi awal. Seharusnya, ruang dengar publik dibuka jauh sebelum ribuan massa merasa perlu menggeruduk Senayan.
Refleksi penting di sini: mengapa DPR lebih responsif setelah ada kerusuhan? Jika sejak awal penjelasan soal mekanisme tunjangan disampaikan jernih, lengkap, dan terbuka, mungkin gejolak tak sampai meluas. Rakyat tidak menuntut banyak: hanya kejujuran, keterbukaan, dan kesediaan wakilnya untuk menjelaskan tanpa menunggu demo.
3. Komunikasi Politik yang Kurang Empati
Kesalahan utama DPR bukan pada angka tunjangan semata, tetapi pada cara menyampaikannya. Penjelasan yang kaku, teknis, dan minim empati membuat publik merasa diremehkan. Masyarakat tidak butuh detail angka lebih dulu, melainkan alasan moral mengapa kebijakan itu sah dan pantas. Politik bukan sekadar administrasi, melainkan seni merawat kepercayaan.
Sayangnya, DPR seringkali terjebak pada pola komunikasi “klarifikasi setelah gaduh”. Pola ini membentuk kesan bahwa rakyat hanyalah objek, bukan mitra dialog. Padahal, di era keterbukaan informasi, keterlambatan penjelasan bisa menjadi bumerang yang memperburuk citra lembaga legislatif. Jika DPR ingin dihargai, mereka harus belajar berbicara dengan hati, bukan sekadar dengan kalkulasi.
Refleksi pentingnya: komunikasi politik membutuhkan kepekaan rasa, bukan hanya nalar birokrasi. Menjelaskan tunjangan rumah dengan pendekatan “kontrak lima tahun” mungkin masuk akal, tetapi apakah pantas disampaikan di tengah isu harga beras naik? Empati adalah kunci yang hilang, dan rakyat menuntutnya bukan dengan kata-kata, melainkan dengan demonstrasi.
4. Tuntutan Rakyat dan Kewajiban Wakilnya