Guru, Anggaran, dan Martabat: Tafsir Moderat atas Isu “Beban Negara”
“Guru bukan sekadar angka dalam anggaran, melainkan cahaya yang menyalakan peradaban bangsa.”
Oleh Karnita
Pendahuluan
Pada pekan ketiga Agustus 2025, beredar sebuah video potongan yang memperlihatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seolah menyebut guru sebagai “beban negara”—narasi yang langsung memicu kehebohan dan respon emosional publik, terutama dari kalangan pendidik ANTARA Newsdetikfinance. Sumber seperti ANTARA dan Detik Finance kemudian mengungkap bahwa potongan video tersebut adalah rekayasa teknologi (deepfake) dari pidato asli Sri Mulyani di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri di ITB pada tanggal 7 Agustus 2025 ANTARA NewsdetikfinanceTempo. Kementerian Keuangan pun secara resmi membantah pernyataan tersebut, menegaskan bahwa itu hoaks dan bukan bagian dari pidatonya yang sebenarnya detikfinanceKompas.tv.
Isu pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang disebut-sebut menyebut guru sebagai “beban negara” sempat menimbulkan polemik. Potongan video dan narasi yang beredar di media sosial memantik emosi publik, terutama kalangan pendidik. Namun, jika dicermati lebih jernih, ada banyak lapisan makna yang perlu ditelaah agar kita tidak terjebak pada hoaks dan kesalahpahaman.
Melalui perspektif ini, tulisan ini berupaya menyajikan tafsir moderat: bukan sekadar membantah hoaks, tetapi juga mendorong diskusi reflektif tentang pengelolaan anggaran pendidikan, posisi guru dalam masyarakat, dan urgensi responsif kebijakan publik.
Menafsir Istilah “Beban”
Ada empat isu penting yang perlu dicermati. Pertama, istilah “beban” dalam anggaran sering dipahami sebagai beban fiskal, bukan beban sosial. Artinya, tingginya belanja untuk gaji guru memang menekan ruang fiskal, tetapi tidak berarti guru dipandang hina.
Kedua, narasi ini bisa ditafsirkan sebagai kritik terhadap sistem pengelolaan anggaran pendidikan. Besarnya alokasi untuk belanja pegawai belum berbanding lurus dengan kualitas pendidikan di lapangan.