Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Ziarah pada Makam, Ziarah pada Jiwa: Membaca Kesunyian dalam Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang

21 Juli 2025   19:52 Diperbarui: 21 Juli 2025   19:52 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam." -Ziarah (goodreads)

Namun, pendekatan estetik yang eksperimental ini juga menjadi sisi yang dapat membingungkan pembaca awam. Ketidakjelasan latar, tokoh, dan kronologi dapat menimbulkan jarak emosional antara pembaca dan cerita. Bagi sebagian pembaca, alur yang seolah berputar-putar tanpa kejelasan tujuan dapat terasa melelahkan dan menyulitkan pemahaman pesan yang ingin disampaikan. Hal ini diperparah oleh pilihan diksi yang padat akan nuansa simbolik dan pemikiran filsafat Barat, seperti Sartre dan Camus, yang memerlukan latar bacaan tertentu agar bisa dicerna dengan optimal.

Meski demikian, justru dari kompleksitas itulah Ziarah memperoleh kekuatannya sebagai karya avant-garde dalam ranah sastra Indonesia. Kelemahan yang muncul bukanlah cacat struktural, melainkan tantangan yang memaksa pembaca untuk tidak hanya membaca, tetapi merenung dan bergulat dengan gagasan-gagasan yang ditawarkan. Novel ini tidak dimaksudkan untuk memberikan hiburan instan, melainkan sebuah ruang ziarah batiniah—sebuah perjalanan intelektual dan spiritual yang hanya dapat dinikmati jika pembaca bersedia menanggalkan ekspektasi konvensional dan membuka diri pada kemungkinan tafsir yang tak terhingga.

Penutup: “Ziarah adalah Luka yang Tak Ingin Disembuhkan”

“Saya ingin menghapus segala bentuk akhir. Karena hidup selalu dimulai dari satu kehilangan.”

Novel Ziarah bukan sekadar kisah duka, tetapi ziarah batin yang menelanjangi absurditas manusia. Kehilangan istri membuat Tokoh Kita kehilangan segalanya, namun juga menemukan sesuatu yang tak terucap: keheningan sebagai bentuk cinta yang paling tulus.

Karya ini masih relevan untuk dibaca saat ini, terutama di tengah dunia yang penuh ketergesaan dan kehilangan makna. Ziarah mengingatkan bahwa tidak semua kehilangan harus disembuhkan. Ada luka yang justru membentuk identitas kita. Dan dalam sunyi makam, di bawah cat putih dinding pemakaman, manusia belajar menerima dan mencintai dalam bentuknya yang paling sunyi.

Daftar Pustaka

  1. Simatupang, Iwan. (1966). Ziarah. Jakarta: Djambatan.
  2. Aveling, Harry. The Pilgrim (terjemahan dari Ziarah). Singapore: Heinemann Educational Books (Asia), 1975.
  3. Teeuw, A. (1980). Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
  4. Mahayana, Maman S. (2005). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  5. Pradopo, Rachmat Djoko. (1995). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Salam, Salma Jasmine Kamal. (2023). "Resensi Novel Ziarah Karya Iwan Simatupang". Kompasiana. https://www.kompasiana.com/salma08579/645098a74addee1bec1c73d2/resensi-novel-ziarah-karya-iwan-simatupang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun