Justru dari absurditas inilah Ziarah bicara banyak soal kenyataan. Hidup memang absurd. Cinta datang dan pergi tanpa penjelasan. Kematian bisa menjadi tempat kelahiran spiritual. Iwan membawa kita ke dunia di mana keajaiban dan kegilaan tidak saling meniadakan, tapi justru memperjelas absurditas hidup.
Narasi yang retak ini membuat pembaca ditantang untuk berpikir. Tidak ada akhir yang tuntas, tidak ada latar waktu yang jelas. Namun justru karena itu, Ziarah berhasil menjadi cermin reflektif yang memperlihatkan kepada kita: betapa rapuhnya kita saat kehilangan, dan betapa mulianya usaha untuk tetap bertahan.
4. Simbolisme dan Bahasa yang Puitis
Bahasa dalam Ziarah penuh idiom, ironi, dan simbol. Kalimat seperti “Esok akan menjadi kini. Kini yang menjadi kemarin tak dihiraukan, karena segala yang lampau hanya gumpalan hitam.” bukan sekadar kata-kata indah, melainkan jendela ke dalam batin tokoh yang berantakan.
Kuburan dalam novel bukan sekadar lokasi. Ia adalah simbol keabadian, pelampauan waktu, dan ruang yang mempertemukan yang hidup dan yang mati. Sosok opseter, walikota, bahkan birokrasi aneh yang membuat pemakaman tidak sah pun menjadi simbol tentang ketidaksanggupan sistem menghadapi duka manusia.
Gaya bahasa Iwan memukau tapi menuntut. Ini bukan bacaan ringan. Pembaca dituntut untuk membaca perlahan, mengendapkan, dan menafsirkan. Novel ini seperti lukisan surealis: indah tapi tidak langsung terbaca. Setiap kalimatnya memuat resonansi filosofis yang mengingatkan pada karya-karya Kafka atau Camus.
5. Menghidupkan Filsafat Eksistensial di Tanah Air
Ziarah adalah salah satu contoh paling kuat dari bagaimana filsafat eksistensial bisa hidup dalam karya sastra Indonesia. Pengaruh eksistensialisme Eropa sangat terasa, namun tidak terasa dipaksakan. Iwan Simatupang berhasil mengindonesiakan absurditas dan spiritualitas melalui tokoh yang sangat manusiawi.
Tokoh Kita tidak memberi jawaban, tapi memberi pertanyaan. Mengapa kita hidup? Apa makna kehilangan? Bisakah cinta melampaui kematian? Semua pertanyaan ini mengalir dalam kehidupan sehari-hari yang tampaknya sederhana, namun penuh perenungan.
Iwan Simatupang menunjukkan bahwa sastra tidak selalu harus menjelaskan. Terkadang, sastra hanya perlu menjadi ruang untuk kita berdialog dengan kekosongan. Dan dari kekosongan itu, kita mungkin akan bertemu kembali dengan diri kita sendiri—seperti Tokoh Kita yang akhirnya menemukan dirinya di pemakaman tempat ia memulai ziarah.
Keunggulan dan Kelemahan Novel Ziarah
Salah satu keunggulan menonjol dari novel Ziarah karya Iwan Simatupang terletak pada keberaniannya membongkar absurditas kehidupan lewat gaya naratif yang tidak konvensional. Penulis menggunakan tokoh utama yang tidak memiliki nama dan identitas yang jelas, menempatkannya dalam posisi eksistensial yang asing namun memikat. Struktur cerita yang bersifat fragmentaris justru memperkuat kesan bahwa hidup tidak selalu berjalan linear, dan manusia kerap tersesat dalam pencarian makna. Gaya penulisan yang filosofis, lirih, dan reflektif menjadikan novel ini lebih dari sekadar cerita—ia menjadi semacam meditasi eksistensial tentang hidup, kematian, dan pencarian spiritual.