Dalam kajian psikologi sosial, interaksi manusia tidak terlepas dari dinamika emosi yang kompleks.Â
Salah satu bentuk dinamika negatif yang kerap muncul dalam hubungan interpersonal adalah guilt tripping, yakni perilaku memanipulasi seseorang melalui penanaman rasa bersalah.Â
Menurut Baumeister, Stillwell, dan Heatherton (1994), "rasa bersalah merupakan emosi moral yang muncul ketika seseorang menilai tindakannya telah melanggar norma atau menyakiti orang lain".Â
Namun, dalam konteks guilt tripping, emosi ini dimanfaatkan secara strategis oleh individu lain untuk mengontrol perilaku target.Â
Esai ini akan membahas konsep guilt tripping, bentuk-bentuk manifestasinya, serta dampaknya terhadap kesehatan psikologis dan kualitas hubungan sosial.Â
Guilt tripping adalah strategi komunikasi manipulatif yang bertujuan menimbulkan rasa bersalah pada orang lain untuk memenuhi keinginan pelaku.Â
Strategi ini sering kali menggunakan pernyataan emosional yang menciptakan beban moral pada korban, sehingga mereka merasa bertanggung jawab atas perasaan negatif pelaku.Â
Dari perspektif teori kontrol interpersonal, guilt tripping adalah bentuk pemaksaan emosional yang digunakan untuk mempertahankan dominasi dalam hubungan.Â
Dalam konteks romantis, hal ini memaksa pasangan untuk memenuhi ekspektasi emosional, sementara dalam keluarga, orang tua dapat memanipulasi keputusan anak-anak mereka demi "kebaikan" yang dipersepsikan.Â
Dampak psikologis pada korban dapat signifikan, menyebabkan kelelahan emosional, penurunan harga diri, kecemasan sosial, dan depresi ringan.Â