Narator menceritakan kehidupan sahabatnya yang tampak sempurna: tampan, cerdas, dan populer. Tapi di balik itu, sang kawan menyimpan luka karena orientasi seksual yang tak bisa ia ungkapkan. Ia memilih hidup dalam kepura-puraan, menikah, punya anak, tapi tetap merasa kosong.
Konflik memuncak saat sang kawan hilang---secara fisik dan eksistensial. Ia memilih pergi tanpa jejak. Cerita ini berjalan perlahan, tapi memukul dengan pelan-pelan. Di balik kalimat-kalimat tenang, menyelinap rasa kehilangan dan perenungan.
Eka mengajak kita menengok sisi gelap kehidupan yang "normal". Bahwa standar sosial yang menekan bisa membuat orang-orang memilih menghilang. Cerpen ini lembut, tapi penuh makna: kita tidak selalu tahu isi kepala seorang kawan, bahkan jika ia tersenyum paling lebar.
11. Dewi Amor
Seorang lelaki tua jatuh cinta pada gadis muda yang mengingatkannya pada masa mudanya. Ia memberanikan diri mengungkapkan rasa, namun tak mendapat respons yang diharapkan. Ia pun mulai menciptakan fantasi tentang dirinya dan gadis itu, hidup dalam dunia yang hanya ia ciptakan sendiri.
Cerita ini tragis dan jenaka sekaligus. Kita dibawa menyelami dunia batin lelaki yang mencoba menolak usia dan keusangan. Tapi kenyataan tak pernah bisa diajak kompromi. Sang lelaki akhirnya patah, bukan hanya oleh penolakan, tapi oleh kesadaran bahwa waktu tidak bisa dibalik.
"Dewi Amor" menyentuh tema universal: kerinduan akan masa lalu dan ketakutan akan kesendirian di usia senja. Dalam dunia yang memuja muda dan cantik, cinta yang datang dari arah sebaliknya dianggap memalukan. Tapi siapa bisa mengatur arah jatuh hati?
12. Kandang Babi
Seorang anak petani menemukan fakta bahwa ayahnya menolak menjual tanah kepada investor karena kandang babi di belakang rumah. Babi-babi itu dianggap najis dan hina oleh masyarakat, tapi bagi sang ayah, mereka adalah kenangan dan simbol perlawanan terhadap kapitalisme.
Konflik keluarga pun muncul: anak ingin hidup lebih "maju", ayah bertahan dengan idealisme lama. Di ujung cerita, pembaca dihadapkan pada pilihan: siapa yang benar? Modernisasi atau warisan nilai? Uang atau martabat?
Cerpen ini adalah alegori tentang akar, harga diri, dan benturan antar-generasi. Di tengah gempuran investasi dan "kemajuan", masihkah ada ruang untuk menolak menjual tanah---secara harfiah maupun metaforis? Kadang, kandang babi bisa lebih bermartabat dari gedung tinggi.