Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Book

"Kami Hanya Ingin Didengar, Meski Lewat Dinding Toilet!"

14 April 2025   03:27 Diperbarui: 14 April 2025   03:27 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kami Hanya Ingin Didengar, Meski Lewat Dinding Toilet!"

"Kami bukan teroris. Kami hanya mahasiswa yang senang corat-coret di toilet." --- Eka Kurniawan, Corat-Coret di Toilet (2000), hlm. 24

Oleh Karnita

Pendahuluan

Kumpulan cerpen Corat-Coret di Toilet (Gramedia Pustaka Utama, 2000) adalah satu dari sekian karya awal Eka Kurniawan yang menyimpan ledakan kegelisahan khas generasi pasca-reformasi. Buku ini memuat dua belas cerpen yang ditulis dalam rentang waktu 1999--2000, sebuah era yang penuh turbulensi politik, sosial, dan arah baru dalam dunia sastra Indonesia. Di dalamnya, kita temukan tokoh-tokoh pinggiran, narasi yang penuh kritik sosial, dan gaya bertutur yang jenaka sekaligus getir.

Saya tertarik mengulas buku ini bukan hanya karena nama besar Eka yang kemudian menasional dan mendunia, tetapi juga karena kumpulan cerpen ini seolah menjadi laboratorium kecil tempat ide-ide besar Eka diracik. Di sinilah kita bisa menyaksikan bagaimana ia bermain-main dengan satire, membenturkan realitas dengan absurditas, dan menyelinap ke ruang-ruang tabu masyarakat lewat humor, ironi, dan lirisisme yang tak terduga. Dua belas cerpen yang akan saya bahas berikut ini adalah potret-potret kecil tentang manusia dan masyarakat kita---dalam segala kebisingan, kerumitan, dan kejujurannya.

1. Peter Pan

Cerpen ini menggambarkan dua tokoh utama, seorang gadis dan seorang pemuda yang mengklaim dirinya Peter Pan. Mereka bertemu dalam keadaan tidak biasa dan larut dalam percakapan ganjil. Peter Pan versi dewasa ini bukan lagi simbol keabadian masa kanak-kanak, tapi representasi dari pelarian terhadap dunia nyata yang getir.

Konflik berkembang saat "Peter Pan" mencoba mempertahankan dunianya sendiri dengan menolak realitas. Dialog antara keduanya mengandung satir yang menggigit, menantang tafsir pembaca akan makna identitas dan eksistensi. Dunia imajiner Peter Pan justru menjadi tempat berlindung dari absurditas kehidupan nyata.

Cerpen ini seperti kritik halus terhadap masyarakat yang kerap menyempitkan ruang-ruang imajinasi. Di tengah tekanan sosial dan tuntutan realitas, banyak jiwa muda terasing dalam dunia sendiri. Peter Pan menjadi simbol mereka yang menolak tunduk dan tetap ingin "terbang".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun