Di balik warung kecil itu, ada kisah menyentuh yang membuat usaha ini terasa lebih personal. Salah satu pelanggan tetap mereka adalah seorang lansia yang selalu datang tiap hari Jumat. Ia tidak pernah membawa uang banyak, tapi selalu disambut hangat oleh Pak Wah.
"Bapak itu bilang, makan di sini bikin dia ingat sama almarhum istrinya. Dulu mereka suka makan mie ayam bareng. Jadi saya nggak tega kalo dia datang, saya kasih aja walaupun kadang cuma bawa receh," ujar Pak Wah, matanya menerawang penuh empati.
Selain itu, Pak Wah juga dikenal sering memberikan makanan gratis kepada anak-anak kecil atau pemulung yang lewat di depan warungnya. Ia percaya bahwa rejeki harus dibagi, dan apa yang ia miliki hari ini adalah hasil dari doa dan kerja keras---bukan hanya dirinya, tapi juga istri dan pelanggan yang setia.
Sebagai bagian dari tugas ini, saya melakukan wawancara singkat dengan Pak Wah di sela-sela waktu senggangnya. Berikut petikan obrolan kami:
Saya: "Pak Wah, apa motivasi utama Bapak tetap bertahan dengan usaha ini meski banyak tantangan?"
Pak Wah: "Saya cuma pengin anak-anak bisa sekolah tinggi. Saya sama istri nggak sempat kuliah, tapi kami pengen mereka punya masa depan yang lebih baik. Jadi ya usaha ini kami jalani dengan sepenuh hati."
Saya: "Apa harapan Bapak ke depan untuk usaha ini?"
Pak Wah: "Semoga bisa punya tempat yang lebih luas, ada tempat duduk yang lebih nyaman buat pelanggan. Mungkin juga bisa buka cabang kecil di tempat lain. Tapi yang penting bisa tetap jujur dan berkah."
Usaha "Mie Ayam dan Bakso Pak Wah" bukan sekadar tempat makan, melainkan simbol dari kegigihan, kejujuran, dan kerja keras seorang warga Jogja dalam menggapai kehidupan yang lebih baik. Di tengah arus modernisasi dan persaingan usaha yang ketat, kisah Pak Wah menjadi bukti nyata bahwa dengan tekad dan kehangatan hati, sebuah usaha kecil bisa menjadi besar dalam makna dan manfaatnya.
Melalui UMKM seperti ini, kita melihat denyut nadi ekonomi lokal yang terus berdetak---bukan hanya demi keuntungan, tapi juga demi harapan, keluarga, dan komunitas. Dan selama masih ada orang-orang seperti Pak Wah, Yogyakarta akan selalu punya cerita yang layak untuk dibagikan.