Contoh konkret dari penerapan conversio terlihat dalam situasi sehari-hari, seperti ketika seseorang diserempet kendaraan lain di jalan tanpa alasan jelas. Reaksi spontan yang muncul biasanya berupa amarah, tersinggung, atau dorongan untuk membalas. Namun, dengan berpikir seperti Marcus Aurelius, individu dapat berhenti sejenak untuk menilai ulang situasi dan menyadari bahwa perilaku orang lain berada di luar kendalinya. Yang bisa dikendalikan hanyalah cara berpikir dan reaksi terhadap kejadian tersebut. Dalam momen itu, seseorang bisa berkata dalam hati: "Saya tidak bisa mengubah tindakannya, tetapi saya bisa memilih untuk tetap tenang." Melalui refleksi batin semacam ini, kemarahan perlahan mereda, suasana hati menjadi stabil, dan konflik dapat dihindari.
Bagian ini menjelaskan metode latihan (askesis) dalam filsafat Stoik yang juga diterapkan oleh Marcus Aurelius untuk mencapai ketenangan dan kebijaksanaan batin. Askesis berasal dari bahasa Yunani sksis, yang berarti latihan atau disiplin diri. Dalam konteks filsafat, askesis bukan sekadar latihan fisik, melainkan latihan spiritual dan mental yang bertujuan membentuk keteguhan jiwa, kemampuan berpikir rasional, serta kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai tekanan hidup. Marcus Aurelius menganggap bahwa latihan semacam ini penting agar seseorang tidak dikuasai oleh emosi, ketakutan, atau pengaruh eksternal yang dapat mengguncang kestabilan batin.
Konsep pemisahan antara Fortuna dan Virtue menekankan pentingnya membedakan mana hal yang dapat kita kendalikan dan mana yang tidak. Fortuna mencakup hal-hal eksternal seperti cuaca, penyakit, opini orang lain, atau keberuntungan yang bersifat tidak pasti dan di luar kendali manusia. Stoikisme mengajarkan untuk menerima hal-hal ini dengan tenang, karena menentangnya hanya menimbulkan penderitaan.
Contoh kasus tersebut menggambarkan bagaimana prinsip Stoikisme dapat diterapkan dalam situasi nyata di tempat kerja. Ketika seseorang menghadapi ketidakadilan, seperti tidak mendapatkan promosi meskipun sudah berusaha keras, ajaran Marcus Aurelius mengajarkan untuk membedakan antara hal yang bisa dan tidak bisa dikendalikan. Keputusan pimpinan termasuk dalam Fortuna, sesuatu yang berada di luar kuasa kita, sedangkan kejujuran, etos kerja, dan profesionalitas termasuk dalam Virtue, hal yang sepenuhnya ada di bawah kendali kita.
Bagian ini menjelaskan bahwa sensasi dan emosi adalah dua hal yang berbeda namun saling berkaitan. Sensasi merupakan reaksi awal tubuh terhadap rangsangan dari luar, seperti panas, sakit, atau rasa kaget, yang muncul secara alami dan tidak melibatkan penilaian moral apa pun. Sensasi terjadi secara spontan karena merupakan bagian dari sistem biologis manusia, sehingga tidak bisa dihindari. Sementara itu, emosi muncul setelah seseorang menilai sensasi tersebut secara mental. Artinya, emosi tidak datang dari peristiwa atau sensasi itu sendiri, melainkan dari cara kita menafsirkan dan menilai pengalaman tersebut. Misalnya, rasa marah muncul bukan karena suara keras, tetapi karena pikiran kita menilai bahwa suara itu disengaja untuk mengganggu. Sejalan dengan ajaran Marcus Aurelius, gangguan sebenarnya tidak berasal dari hal eksternal, melainkan dari penilaian kita terhadap hal itu. Dengan memahami perbedaan ini, seseorang dapat belajar untuk mengendalikan emosinya dengan mengatur cara berpikir dan penilaiannya terhadap setiap sensasi yang dialami.
Marcus Aurelius dan Epictetus membedakan antara sensasi dan emosi dalam kerangka berpikir mereka. Sensasi (aisthesis) adalah reaksi tubuh alami yang muncul secara spontan dan bersifat netral, seperti rasa kaget atau takut karena suara keras. Sensasi tidak dapat dikendalikan karena merupakan bagian dari respon biologis manusia. Sebaliknya, emosi (pathos) muncul sebagai hasil penilaian pikiran terhadap sensasi tersebut. Emosi bisa positif atau negatif, tergantung bagaimana seseorang menafsirkan situasi yang dialaminya, dan dapat dikendalikan melalui rasio atau kesadaran rasional.