Langit membiru, lalu jingga, lalu ungu yang merekah.
Aku duduk sendiri, di bangku taman yang sunyi,
Mencoba merangkai kata, untukmu, kekasih hati.
Rinduku kini bagai sungai, mengalir deras tak bertepi,
Menggulirkan setiap bayangmu, dari fajar hingga sunyi.
Setiap tetesnya adalah kenangan, setiap pusarannya adalah tawa,
Mengikis bebatuan waktu, membawa kisah kita yang abadi.
Wajahmu adalah lukisan, di kanvas bening ingatanku,
Setiap guratan garis senyum, adalah bait dari puisiku.
Matamu adalah lautan dalam, di mana aku tak takut tenggelam,
Menemukan kedamaian di dasar, di tengah ombak dan malam.
Suaramu adalah melodi, yang paling merdu di dunia ini,
Mengalun di heningnya malam, menenangkan hati yang sepi.
Membawa mimpi-mimpi indah, tentang kita dan masa depan,
Tentang kebersamaan yang utuh, tanpa ada keraguan.
Cinta ini adalah pohon, berakar dalam di dasar jiwa,
Menembus kerasnya kehidupan, mencari sumber cinta yang nyata.
Daunnya adalah janji-janji, yang takkan pernah layu,
Buahnya adalah kebahagiaan, yang akan selalu kita tuju.
Maka biarlah jarak memisahkan, biarlah waktu menguji,
Puisi ini adalah jembatan, yang akan menyatukan hati.
Hingga tiba saatnya, kita tak lagi terpisah oleh kata,
Karena cinta kita, adalah puisi yang tak pernah selesai.
2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI