"Ini tentang anak saya, Bu."
"Tapi Bapak taruh parang itu dulu."
Sikap keras Parno, akhirnya mereda di tangan bu Murni. Meski seorang perempuan, sosoknya, begitu disegani dan dihormati. Bisa jadi, selain sebagai seorang kepala sekolah, dia adalah istrinya Bagong. Orang terkaya di kampung. Apa pun bisa dibeli. Apalagi jika hanya seorang Parno.
Bu Murni mengajaknya masuk ke dalam kantor kepala sekolah. Di dalam, Parno langsung diceramahi banyak hal. Tak ada yang tahu. Karena pintu kantor itu, langsung ditutup rapat. Tak mungkin ada yang bisa mendengarnya dari luar.
Sang kepala sekolah memang sudah terkenal dengan ketegasannya. Tak ada yang berani, sekadar untuk beradu argumen. Dan entah apa yang disampaikan oleh Bu Murni. Yang jelas, Parno terlihat pasrah setelah keluar dari ruangan ibu kepala sekolah. Parang yang ia bawa semula, sepertinya sudah tak terlihat. Lelaki itu pulang, dan sudah seperti tentara yang kalah perang.
Melihat suaminya pulang, Wati segera menemuinya. "Tidak terjadi apa-apa kan Pak?" tanya Wati.
"Jambrong harus tetap bersekolah. Jambrong harus bisa mengangkat keluarga kita, Bu." Jawab Parno, dengan tubuh yang sedikit lemas.
"Iya, Pak. Ibu juga berpikir begitu. Jambrong harus sekolah tinggi. Tinggi sekali, agar orang-orang tak lagi meremehkan keluarga kita. Jambrong harus lebih hebat dari anaknya juragan Bagong."
"Sepertinya tidak mungkin bu."
"Mungkin Pak. Jambrong, anak kita, itu anak yang pintar."
"Tapi, Jambrong sudah dikeluarkan dari sekolah, Bu."