Jambrong tetap saja terdiam.
"Ayo lah, Nak. Nanti bapak marah lho, kalau sampai kamu tidak berangkat sekolah. Bisa-bisa kamu dipukul atau ..."
"Atau apa Bu?" jawab Parno.
"Jambrong jangan dengarkan kata-kata ibumu. Jelas bapak tak mungkin memukulmu. Coba, kapan bapak pernah memukulmu? Tak pernah kan. Karena bapak sangat sayang kepadamu. Kamu adalah anak lelaki satu-satunya. Kamu itu adalah ujung tombak dari keluarga ini kelak. Jadi, tak mungkin bapak akan memukulmu." Ujar Parno.
"Jika begitu, kenapa bapak tidak berhenti saja sebagai tukang sambung ayam?" balas Wati dengan suara lantang.
"Kenapa? Kenapa saya harus berhenti sebagai tukang sambung ayam?"
"Ya, gara-gara itu, Jambrong tak mau sekolah. Teman-temannya selalu mengejeknya. Kata mereka, ayah Jambrong seorang tukang sambung ayam."
"Siapa ... siapa yang berani mengejek anaknya Parto. Hei Jambrong, ayo katakan siapa mereka. Biar bapak kasih pelajaran pada mereka."
Alih-alih memberikan jawaban atas pertanyaan bapaknya, Jambrong justru bergegas pergi ke dalam kamarnya. Terdengar suara isak dari dalam. Anak lelaki satu-satunya itu, hanya bisa menangis untuk meluapkan kekesalannya.
"Kurang ajar!!!" Parno mengambil parang panjangnya.
"Pak, cukup Pak, cukup. Bapak mau Ngapain?" Wati mencoba menahan langkah suaminya, yang sepertinya ingin mengambil senjata tajam.