Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Nasib Jambrong

18 Oktober 2019   15:57 Diperbarui: 18 Oktober 2019   16:16 7 0
Karena malu disebut anak tukang sambung ayam, Jambrong, minta keluar dari sekolah. Siswa kelas lima SD itu, sudah tak sanggup menghadapi ejekan teman-temannya. Apalagi jika sudah bertemu dengan Bendhol dan kelompoknya. Tak hanya ejekan, seringkali, Jambrong di palak, hingga dikeroyok rame-rame.

Padahal, Jambrong digadang-gadang sebagai ujung tombak keluarga. Kelima kakaknya, semua perempuan. Sekolahnya, cukup sampai SD. Ikut bekerja di rumah tetangga, dan setelahnya menikah dan beranak-pinak.

Parno, ayah Jambrong, sempat berjanji. Jika sampai dikaruniai anak laki-laki, maka tidak akan disia-siakan. Ujarnya, dia akan merawat dan membesarkannya seperti halnya anak seorang yang berduit dan bernama besar. Paling tidak, seperti anaknya juragan Bagong, atau anaknya Pak Kaji Badrun dan yang lainnya.

Tentu saja, sikap Parno itu tak begitu saja diterima oleh anggota keluarga yang lain. Terutama Wati, istrinya. Baginya, seharusnya perlakuan itu sama. Tak membedakan apakah si anak itu perempuan atau laki-laki. Justru sebaliknya, masih menurutnya, jika memang harus memberikan perlakuan khusus, itu seharusnya pada anak perempuan. Bukan anak laki-laki.

Sebagai kaum perempuan, Wati tak mau begitu saja mengiyakan keinginan suaminya. Karena sebagai perempuan, dia merasa seringkali harus mengalah dengan laki-laki. Baginya, semua itu tak adil.

Meski seberapa keras Wati berargumen, tetap saja, dia tak mungkin bisa mengalahkan Parno. Wati itu seorang istri, dan lagi-lagi, seorang istri itu harus tunduk pada suaminya. Begitulah kira-kira yang disepakati oleh Parno. Sesuatu yang juga ia dapatkan dari bapaknya, dan juga dari kakeknya. Laki-laki itu harus selalu di atas perempuan.

Dari pada terus beradu argumen, yang akhir-akhirnya berakhir dengan pertengkaran, Wati lebih memilih untuk mengalah. Dia sudah kenyang dengan sikap amarah suaminya itu. Jika diingat-ingat dulu, betapa seringnya Parno melakukan kekerasan fisik pada dirinya. Mulai dari tamparan, tendangan, dan semacamnya. Itu juga tak seberapa, sering juga, umpatan kasar diucapkan kepada Wati.

Memang, setelah kehadiran Jambrong, sifat amarah Parno sudah sedikit  berkurang. Namun, kebiasaannya melakukan sambung ayam, rasanya sulit dihilangkan. Hingga, Jambrong, anak kesayangannya itu minta berhenti dari sekolah.

Hari ini, Jambrong benar-benar mogok sekolah. Meski sudah berseragam, sudah juga sarapan, setelahnya dia justru mematung. Tak mau bicara, hanya menunduk di bangku bambu depan TV. Lantas bagaimana dengan nasib Jambrong jika terpaksa keluar.  Karena memang hanya sekolah itu lah satu-satunya yang ada di kampung. Tak ada sekolah lain.

Wati terus merayu. Dengan iming-iming, atau dengan apa saja. Asalkan anak laki-lakinya itu mau berangkat sekolah. Namun Jambrong tetap tak bergerak. Dia seperti sedang berdemonstrasi dengan cara mematung. Barangkali, dengan cara itu lah, Parno, ayahnya mau berhenti sebagai tukang sambung ayam.

"Ayo, Nak, berangkat sekarang ya. Sudah mau jam tujuh lho. Nanti kamu telat dimarahi sama bu guru bagaimana?" rayu Wati pada Jambrong.

Jambrong tetap saja terdiam.

"Ayo lah, Nak. Nanti bapak marah lho, kalau sampai kamu tidak berangkat sekolah. Bisa-bisa kamu dipukul atau ..."

"Atau apa Bu?" jawab Parno.

"Jambrong jangan dengarkan kata-kata ibumu. Jelas bapak tak mungkin memukulmu. Coba, kapan bapak pernah memukulmu? Tak pernah kan. Karena bapak sangat sayang kepadamu. Kamu adalah anak lelaki satu-satunya. Kamu itu adalah ujung tombak dari keluarga ini kelak. Jadi, tak mungkin bapak akan memukulmu." Ujar Parno.

"Jika begitu, kenapa bapak tidak berhenti saja sebagai tukang sambung ayam?" balas Wati dengan suara lantang.

"Kenapa? Kenapa saya harus berhenti sebagai tukang sambung ayam?"

"Ya, gara-gara itu, Jambrong tak mau sekolah. Teman-temannya selalu mengejeknya. Kata mereka, ayah Jambrong seorang tukang sambung ayam."

"Siapa ... siapa yang berani mengejek anaknya Parto. Hei Jambrong, ayo katakan siapa mereka. Biar bapak kasih pelajaran pada mereka."

Alih-alih memberikan jawaban atas pertanyaan bapaknya, Jambrong justru bergegas pergi ke dalam kamarnya. Terdengar suara isak dari dalam. Anak lelaki satu-satunya itu, hanya bisa menangis untuk meluapkan kekesalannya.

"Kurang ajar!!!" Parno mengambil parang panjangnya.

"Pak, cukup Pak, cukup. Bapak mau Ngapain?" Wati mencoba menahan langkah suaminya, yang sepertinya ingin mengambil senjata tajam.

"Saya mau ke sekolahan. Mau saya tebas anak-anak yang kurang ajar itu. Biar mereka tahu, siapa Jambrong, dan siapa bapaknya."

Wati tak mampu menahan gerak suaminya itu. Parno sudah bergegas. Dengan pakaian seadanya. Dengan parang besar di tangannya. Dia menuju ke sekolah Jambrong.

Sesampai di pagar depan sekolah, Parno sudah berteriak-teriak sambil mengacungkan parang ke arah depan. "Hei, kalian anak-anak yang kurang ajar, yang sering mengejek anakku, ayo keluar!"

Mendengar teriakan Parno, semua guru keluar dari ruang kelas atau ruang guru. Beberapa siswa mencoba keluar dari kelas, sekadar melihat apa yang sedang terjadi.

Melihat kondisi tersebut, bu Murni, selaku kepala sekolah, meminta semua guru untuk kembali ke kelas. Kembali mengajar dan mengkondisikkan anak-anak.

Bu Murni, yang seorang kepala sekolah perempuan, menghampiri Parno.

"Ada apa, Pak?" tanya bu Murni dari kejauhan. Sambil berjalan mendekati Parno.

"Anak-anak ... saya mencari anak-anak yang kurang ajar. Anak-anak yang telah mengejek anakku!" Parno terus berteriak sambil mengacungkan parangnya.

"Berhenti di situ Pak!" kata bu Murni lantang, sambil menunjuk ke Parno.

Parno menghentikan langkahnya. "Tolong, jangan halangi saya bu. Saya mau mencari anak-anak kurang ajar itu."

"Jika bapak terus maju, saya akan menghadapi bapak." tantang bu Murni.

"Ini tentang anak saya, Bu."

"Tapi Bapak taruh parang itu dulu."

Sikap keras Parno, akhirnya mereda di tangan bu Murni. Meski seorang perempuan, sosoknya, begitu disegani dan dihormati. Bisa jadi, selain sebagai seorang kepala sekolah, dia adalah istrinya Bagong. Orang terkaya di kampung. Apa pun bisa dibeli. Apalagi jika hanya seorang Parno.

Bu Murni mengajaknya masuk ke dalam kantor kepala sekolah. Di dalam, Parno langsung diceramahi banyak hal. Tak ada yang tahu. Karena pintu kantor itu, langsung ditutup rapat. Tak mungkin ada yang bisa mendengarnya dari luar.

Sang kepala sekolah memang sudah terkenal dengan ketegasannya. Tak ada yang berani, sekadar untuk beradu argumen. Dan entah apa yang disampaikan oleh Bu Murni. Yang jelas, Parno terlihat pasrah setelah keluar dari ruangan ibu kepala sekolah. Parang yang ia bawa semula, sepertinya sudah tak terlihat. Lelaki itu pulang, dan sudah seperti tentara yang kalah perang.

Melihat suaminya pulang, Wati segera menemuinya. "Tidak terjadi apa-apa kan Pak?" tanya Wati.

"Jambrong harus tetap bersekolah. Jambrong harus bisa mengangkat keluarga kita, Bu." Jawab Parno, dengan tubuh yang sedikit lemas.

"Iya, Pak. Ibu juga berpikir begitu. Jambrong harus sekolah tinggi. Tinggi sekali, agar orang-orang tak lagi meremehkan keluarga kita. Jambrong harus lebih hebat dari anaknya juragan Bagong."

"Sepertinya tidak mungkin bu."

"Mungkin Pak. Jambrong, anak kita, itu anak yang pintar."

"Tapi, Jambrong sudah dikeluarkan dari sekolah, Bu."

"Bagaimana bisa, Pak?"

"Bu Murni, tadi di hadapan bapak, mengeluarkan Jambrong. Bu Murni itu, adalah ibunya Bendhol, anak kurang ajar yang selalu mengejek anak kita di sekolah."

Jepara, 18 Oktober 2019

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun