Minggu ini sebagai mahasiswa akhir, aku mulai mencari-cari jurnal untuk publikasi salah satu artikelku. Dosen pembimbing hanya menyarankan agar jurnal yang dipilih itu berasal dari jurnal internasional tapi terserah untuk indeksnya. Jadi enggak harus yang bereputasi dan memiliki indeks tinggi. Katanya biar "belajar" nulis yang bener dulu. Soalan akreditasi jurnalnya, enggak terlalu dipermasalahkan. Jadilah aku mulai cari-cari jurnal dengan kata kunci prodiku, "communication" tapi ternyata banyak sekali jurnal yang enggak familiar di telinga. Semua nama jurnalnya terlihat mirip-mirip. Sampe akhirnya aku ketemu sama salah satu jurnal yang katanya "open access" tetapi mensyaratkan biaya APC yang menurutku tergolong rendah untuk jurnal internasional, sekitar $30 USD. Aku langsung berpikir, "Okelaah enggak masalah soal itu". Tp aku juga perlu tahu scope dan archive/artikel-artikel sebelumnya. Jadi, aku cek di jurnalnya itu tertulis, "multidisciplinary" dengan mencantumkan hampir semua scope keilmuan. Aku cek ada salah satunya, "Communication engginering". Langsung tiba-tiba mikir, "Maksudnya apa ya? Apa mungkin maksudnya sains komunikasi?". Disini aku enggak cari tahu dan memutuskan untuk langsung lihat archive dari jurnalnya. Disana banyak sekali artikel orang-orang Indonesia, mulai dari yang sarjana, magister, sampai dosen pun ada dari kampus-kampus PTN dan PTS yang cukup terkenal. Aku pikir ini aman karena mereka sudah pasti re-check sebelum submit.Â
Selain itu, salah satu hal yang cukup menarik buat aku, penawaran mereka untuk publikasi itu cepet bangeet. Prosesnya tertulis sekitar 2 harian dari submission. Kebetulan aku juga sedang dikejar deadline dan sidang jadi rasanya pas ajaa karena biasanya jurnal itu memakan waktu 12-24 minggu bahkan lebih untuk proses review. Jadilah aku memutuskan untuk submit ke jurnal tersebut.Â
Benar saja, 2 hari dari submission, aku menerima email dari editor bahwa artikelku "Accepted". Sungguh menakjubkaan...
Namun, aku memutuskan untuk menarik artikelku. Ini karena selama 2 hari tersebut, aku mulai curiga dan mencari tahu asal muasal jurnal tersebut. Jadi, ada satu hal yang paaaaling bikin kageet bangett ketika aku mencoba menelusuri beberapa artikel terbitan jurnal tersebut, salah satunya artikel yang tidak bisa diakses, khususnya untuk artikel tahun-tahun dari 2018 kebawah. Semuanya cuma stuck di abstrak saja. karena penasaran, aku coba telusuri artikel yang tidak bisa dibuka tersebut di google. Keluarlah beberapa website yang menampilkan judul artikel yang sama. Firasatku, ini sepertinya karena indeks dari jurnal tsb atau mungkin dari penulis yang share ke website lain.Â
Tapi pas dibuka isinya bikin aku shock..."GILAAK! INI BENERAN WEBSITE JURNAL?"Â
Isinya laman "JUDOL". Aku mau teriak seketika karena bener-bener sekaget itu, "GAK NYANGKA, KOK BISA?Â
Aku mau positif, "Oh, mungkin karena ada perbaikan laman jurnal ya? jadi artikelnya enggak bisa terbuka dan mengarah ke laman judol. Tapi yo yang bikin aku maraaaah ini hampir semua artikel yang terbit di volume tersebut dan dibawahnya (terbitan tahun 2018 kebawah), itu semua tidak bisa terbaca dan mengarah ke laman judol. Kalau iya ini jurnal berkualitas, seharusnya mereka bisa bertanggung jawab menangani isu seperti ini. Kalau ada kasus kena hack atau malware, seharusnya pihak jurnal tersebut sudah memiliki database yang baik.Â
Lhoo...kok bisa seperti ini sih? Ini jurnal kok ya terkesan "asal-asalan" yaa?...Â
Niat hati mau baca referensi justru malah bikin perasaan  was-was enggak karuan. Setelah lihat laman judol ini, aku langsung coba cek ke website Beallist, tempat untuk cek apakah jurnal/publisher terindikasi "predator" atau tidak. Hasilnya mengejutkaaaan sekali...
Dari nama jurnalnya aman, tidak masuk dalam daftar hitam (nama jurnal sengaja disamarkan) tetapi publishernya terindikasi "predator".Â
Aku tidak bisa menyebutkan nama jurnalnya karena bisa saja mereka terbagi menjadi beberapa jurnal dalam satu publisher atau bahkan sering berganti nama karena di "banned" oleh pihak-pihak yang tertentu. Aku sarankan teman-teman untuk lebih berhati-hati terhadap publisher diatas karena mereka memiliki indikasi kuat terhadap penyalahgunaan etika publikasi, seperti peninjauan yang kurang transparan dengan waktu yang cepat dan biaya publikasi yang minim.Â
Namun, sepenuhnya aku belum benar-benar mengatakan kalau jurnal ini tergolong "predator" karena masing-masing punya  karakter sendiri. Toh, banyak sekali teman-teman mahasiswa bahkan dosen yang mempublikasikan penelitiannya ke jurnal tersebut tanpa mencurigai identitas dari jurnalnya.Â
Terlepas dari jurnal tersebut benar-benar predator atau bukan, aku bersyukur karena bisa menarik kembali artikel yang hendak dipublikasikan tanpa harus berkonflik dengan para "editor" tersebut. Ini karena aku sempat baca beberapa cerita dan pengalaman dari seorang ilmuan yang pernah mempublikasikan artikelnya ke jurnal yang diduga "predator" tersebut dan ketika menyadarinya, sulit sekali artikel tersebut untuk ditarik. Beberapa masalahnya karena adanya kebijakan yang katanya melanggar etika dan ketentuan dari jurnal tersebut. Belum lagi pihak jurnal tersebut meminta "bayaran" sebagai tagihan untuk menarik artikel tersebut. GILAAAK! Ini suatu pemerasan. Padahal penulisnya sudah tidak berkenan dan memohon baik-baik untuk ditarik kembali artikelnya tetapi minta ganti rugi. Ini aneh? Justru seharusnya yang pantas merasa dirugikan adalah kami, penulis.Â
I asked the journal to withdraw my manuscript from review, figuring that was the logical next step. They demanded that I justify my decision and debated my right to withdraw, insisting that I pay at least $400 to do so. After an exchange of emails—akin to "no way," "yes way," and "no way"—and one phone call demanding payment, I informed the journal that we were at an impasse and diverted all correspondence to the trash.
Ilmuwan ini menyadari kalau jurnal tersebut "predator" setelah mengkonfirmasi dengan salah satu editor team dari jurnal tersebut yang juga kenalannya.Â
I found that a postdoc at my institution was listed on the journal's website as a member of the editorial board. I sent him an email asking about his experience with the journal, hoping he would confirm its legitimacy. That's when the roof started to cave in. My colleague explained that he had never actually worked with the journal. He eventually realized that it wasn't a reputable publication, but he hadn't been able to get his name removed from the website. Then a trusted mentor suggested that I check up on the parent publisher. There it was, on Beall's infamous list.
Dari pengalaman ini aku belajar sesuatu yang berharga terkait bagaimana memilih tempat publikasi yang "layak"Â
1. Cek reputasi jurnal tersebut, mulai dari indeksnya (apakah terindeks DOAJ, Scopus, WOS, Sinta, etc). Ini bisa di cek langsung di masing-masing laman jurnalnya dengan memasukkan nama jurnal/publishernya ke indeks tersebut.Â
2. Apakah jurnal tersebut memiliki arsip terbitan artikel yang baik? Ini bisa dilihat dari metode penelitian, penulisan (grammar, cara penyajian data), dan hasil dari penelitian tersebut. Beberapa artikel aku temukan mereka tidak mematuhi standar penulisan yang baik, seperti tidak adanya penjelasan metodologi yang jelas dalam penelitiannya hingga typo dan bahasa yang digunakan terkesan berantakan(Terdapat bahasa indonesia di dalam isi artikel padahal jurnalnya merupakan jurnal internasional). Kalau jurnal tersebut benar-benar melakukan review, seharusnya hal ini tidak akan terjadi karena pastinya editor akan meminta penulis untuk melakukan revisi.
3. Cek reputasi dan latar belakang akademik dari para editor/pengelola jurnal. Jurnal yang baik akan memilih editor dengan latar belakang akademik yang baik (cek publikasi dan pendidikannya). Pengalaman kemarin, aku menemukan bahwa editor masih aktif menjadi mahasiswa bahkan merupakan mahasiswa angkatan lebih muda dari aku.Â
4. Cek Media komunikasinya. Email yang digunakan biasanya menggunakan email institusi resmi dengan domain edu dari kampus mitra/institusi. Kalau menggunakan domain @gmail, perlu dicurigai. Kemudian, rata-rata jurnal yang punya reputasi baik tidak akan menyuruh penulis untuks submit melalaui email. Yaiyaaalaah, kalau jurnalnya baik, gak sempat mereka cek email sebanyaaak ituuu. Terlebih akan memakan waktu dan tidak efisien.Â
5. Cek websitenya. Website jurnal yang baik itu "proper". Dari sisi UI/UX itu "bersih", tidak ada kata-kata promosi, tidak ada iklan, tidak ada stiker/label-label yang terkesan "norak" seakan-seakan mempromosikan jurnalnya berkualitas. Padahal, kalau berkualitas, mereka akan mempromosikannya dengan "elegan". Pengalaman kmrn, mereka menempelkan logo dari platform "Issue". Ini sama sekali gak relevan. Terlebih gambar tersebut disandingkan dengan indeks jurnal lainnya. (sangaaaat tidak profesional).Â
6. Scope jurnal. Kalau jurnal dengan scope multidisiplin, perlu dicek kembali arsip dan artikel-artikel terbitannya. Apakah sesuai dengan kaidah dan prosedur penulisan akademik? Jaraaang sekali ada jurnal yang berkualitas memiliki scope multidisiplin dengan kualitas paper yang "amburadul". Jadi di cek dlu arsipnya. Pengalaman kemarin, mereka ada menulisnya bidangnya dengan "research" atau "communication engineering"Â
7. Konsultasikan dengan pembimbing. Apakah pembimbing mengenali jurnal tersebut? khususnya editor dari jurnal tersebut. Biasanya para dosen memiliki kenalan para rekan sejawat dengan satu rumpun ilmu sehingga seharusnya mereka mengenali editor-editor tersebut (terlebih jika jurnalnya masih dalam lingkup Indonesia saja).Â
Dari pengalaman ini hal yang paling aku gak nyangka adalah peran editor dan timnya yang secara tidak langsung berusaha untuk "menipu" para penulis. Dengan menggunakan "tittle" nya sebagai seorang akademisi, mereka mengelabui para penulis dan akademisi lainnya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi.Â
SUNGGUH MIRIS... Kalaupun memang mereka menggunakan identitas dan riwayat pendidikan palsu yang  tertera di dalam jurnal, tetap saja saya merasa ini tidak bisa ditoleransi. Kalau mau mencari keuntungan, seharusnya tidak dengan menipu dan merugikan banyak orang.Â
Beruntung artikelku masih bisa ditarik dari jurnal tsb sehingga aku bisa mempublikasikannya ke jurnal lainnya.Â
Praktik seperti ini kalau terus dibiarkan akan membuat masyarakat tersesat. Meskipun saya yakin seharusnya para ilmuwan, akademisi, dan mahasiswa memahami apa yang mereka baca dan tulis sebelum dibagikan oleh masyarakat, tetapi yang namanya publikasi secara digital tidak akan mudah hilang sepenuhnya sehingga bisa saja artikel-artikel yang katanya "berkualitas" tersebut berdampak pada pemahaman serta merugikan banyak pihak, khususnya karir dari penulis tersebut.Â
Kalau dari kalian, adakah pengalaman serupa atau tips lainnya yang ingin dibagikan agar terhindar dari para oknum-oknum ini? Silahkan komen dibawah yaaa...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI