Dari nama jurnalnya aman, tidak masuk dalam daftar hitam (nama jurnal sengaja disamarkan) tetapi publishernya terindikasi "predator".Â
Aku tidak bisa menyebutkan nama jurnalnya karena bisa saja mereka terbagi menjadi beberapa jurnal dalam satu publisher atau bahkan sering berganti nama karena di "banned" oleh pihak-pihak yang tertentu. Aku sarankan teman-teman untuk lebih berhati-hati terhadap publisher diatas karena mereka memiliki indikasi kuat terhadap penyalahgunaan etika publikasi, seperti peninjauan yang kurang transparan dengan waktu yang cepat dan biaya publikasi yang minim.Â
Namun, sepenuhnya aku belum benar-benar mengatakan kalau jurnal ini tergolong "predator" karena masing-masing punya  karakter sendiri. Toh, banyak sekali teman-teman mahasiswa bahkan dosen yang mempublikasikan penelitiannya ke jurnal tersebut tanpa mencurigai identitas dari jurnalnya.Â
Terlepas dari jurnal tersebut benar-benar predator atau bukan, aku bersyukur karena bisa menarik kembali artikel yang hendak dipublikasikan tanpa harus berkonflik dengan para "editor" tersebut. Ini karena aku sempat baca beberapa cerita dan pengalaman dari seorang ilmuan yang pernah mempublikasikan artikelnya ke jurnal yang diduga "predator" tersebut dan ketika menyadarinya, sulit sekali artikel tersebut untuk ditarik. Beberapa masalahnya karena adanya kebijakan yang katanya melanggar etika dan ketentuan dari jurnal tersebut. Belum lagi pihak jurnal tersebut meminta "bayaran" sebagai tagihan untuk menarik artikel tersebut. GILAAAK! Ini suatu pemerasan. Padahal penulisnya sudah tidak berkenan dan memohon baik-baik untuk ditarik kembali artikelnya tetapi minta ganti rugi. Ini aneh? Justru seharusnya yang pantas merasa dirugikan adalah kami, penulis.Â
I asked the journal to withdraw my manuscript from review, figuring that was the logical next step. They demanded that I justify my decision and debated my right to withdraw, insisting that I pay at least $400 to do so. After an exchange of emails—akin to "no way," "yes way," and "no way"—and one phone call demanding payment, I informed the journal that we were at an impasse and diverted all correspondence to the trash.
Ilmuwan ini menyadari kalau jurnal tersebut "predator" setelah mengkonfirmasi dengan salah satu editor team dari jurnal tersebut yang juga kenalannya.Â
I found that a postdoc at my institution was listed on the journal's website as a member of the editorial board. I sent him an email asking about his experience with the journal, hoping he would confirm its legitimacy. That's when the roof started to cave in. My colleague explained that he had never actually worked with the journal. He eventually realized that it wasn't a reputable publication, but he hadn't been able to get his name removed from the website. Then a trusted mentor suggested that I check up on the parent publisher. There it was, on Beall's infamous list.
Dari pengalaman ini aku belajar sesuatu yang berharga terkait bagaimana memilih tempat publikasi yang "layak"Â
1. Cek reputasi jurnal tersebut, mulai dari indeksnya (apakah terindeks DOAJ, Scopus, WOS, Sinta, etc). Ini bisa di cek langsung di masing-masing laman jurnalnya dengan memasukkan nama jurnal/publishernya ke indeks tersebut.Â
2. Apakah jurnal tersebut memiliki arsip terbitan artikel yang baik? Ini bisa dilihat dari metode penelitian, penulisan (grammar, cara penyajian data), dan hasil dari penelitian tersebut. Beberapa artikel aku temukan mereka tidak mematuhi standar penulisan yang baik, seperti tidak adanya penjelasan metodologi yang jelas dalam penelitiannya hingga typo dan bahasa yang digunakan terkesan berantakan(Terdapat bahasa indonesia di dalam isi artikel padahal jurnalnya merupakan jurnal internasional). Kalau jurnal tersebut benar-benar melakukan review, seharusnya hal ini tidak akan terjadi karena pastinya editor akan meminta penulis untuk melakukan revisi.