Mohon tunggu...
Narendra Setya Nugraha
Narendra Setya Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Seminaris

Seminaris Seminari Mertoyudan St.Petrus Canisius

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kepingan Baru

23 Maret 2024   09:34 Diperbarui: 29 Maret 2024   19:45 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pribadi/Rendra

     

 Angin sore itu masih meniupnya dengan lembut. Selembut lantunan kentrung yang harmonis, menemani dan mendekap kami berdua. Di atas bumi ini, kami telah saling belajar. 

Bunga putih itu telah menjadi tanda bagi kami berdua. Ikatan yang terbentuk karena ketidaksengajaan telah membuat kami saling menerima. Bapakku, engkaulah yang telah mengajariku bahwa manusia tidak ada yang sempurna.

***

Aku sadar bahwa hidupku ini adalah sebuah realita dunia dengan segala kefanaannya. Kini, aku hidup sendiri, tanpa satu persona pun yang aku kenal. 

Aku menggigil di tengah sapaan angin malam. Di terminal kota Muntilan, jauh dari remang-remang cahaya lampu jalan yang seakan menunjukan kehampaan, aku terdiam sendirian. 

Bukan hanya kedinginan dan sendirian, aku juga lapar. Seorang anak kecil sendirian di dalam pelukan sang malam bisa berbuat apa? Di tahunku yang ke empat belas ini aku sudah kehilangan banyak hal.

Di pojok sana ada sebuah ruko yang masih buka. Si Jahat mulai mencoba mempengaruhi isi pikiranku. Ah mana mungkin. Aku adalah anak yang baik. Namun, perutku tidak bisa ditawar. 

Ia meraung meminta sesuap makanan. Setidaknya sebungkus roti. Perlahan-lahan aku menuju ke arah ruko tersebut. Aku menurunkan tubuhku di depan etalase ruko. Sepi. Tidak nampak seorang pun di sana.

Tangan kecilku mencoba mengais sebungkus roti yang nampak bersinar di etalase ruko itu. Masih sedikit jauh. Aku mengangkat kakiku sedikit. 

Sedikit lagi. Ah, dapat. Aku segera menarik bungkusan roti itu. Aku melihat bungkusan roti itu seperti menemukan sebuah permata di dalam sebuah penjara. Aneh. Aku pun segera meninggalkan tempat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun