"Mereka yang di rumah tidak tahu?" tanya Setyo.
"Nggak lah, mereka dengar tembakan, tetapi sudah biasa mereka dengar. Mereka terlalu capai dan makan enak hingga lelap tidurnya. Cuma kehadiran Kintan nyaris mengacaukan rencana," ujar Harland.
 "Mirna pun nggak curiga," ucap Setyo. "Berisiko, tetapi itu rencana cerdas dan mereka kena!"
Pagi setelah mandi dan  sarapan Widy, Kintan, Syafri, Hein, Yoga, Angga, Rinitje, Jilly dan Ambar termasuk Paman Syafri,  Emil Tahar dan  Meiti, serta orang sipil diminta  meninggalkan Ciwidey ke Bandung. Akhirnya mereka tahu, tetapi maklum. Untuk sementara tidak ada yang boleh masuk Ciwidey dulu.
Meskipun  Widy, Syafri, Mirna Jilly dan Ambar  diperbolehkan jalan-jalan di kawah putih dengan pengawalan. Apalagi Kintan merengek ikut, dia tak henti-hentinya berseru gembira. Hanya dia tidak mengerti ada kejadian yang membuat mereka dipulangkan.
"Dasar Barudak nakal, awas kalau kau bolos lagi!" Widy menjewer kupingnya.
"Ya, tetapi Kintan boleh jalan-jalan dengan Om Syafri, Teteh Widy tidak boleh ikut yaa?"
"Ya, anak kecil ini cemburu!" Angga tertawa.
"Boleh, nilai rapotmu harus rata-rata 7 ke atas ya!" kata Syafri. Diikuti acungan jempol dari Widy yang sudah pasrah.
"Siap!" katanya centil.
Mirna dan Setyo ikut jip yang dikemudikan Daus dan berapa tentara. Sementara Angga,Hein, Rinitje dengan Yoga satu mobil. Â Widy, Syafri dan Kintan di motor gandeng. Â Mobil Emil Tahar dan Meiti dan anaknya mengikuti. Mereka dikawal tentara ke Bandung.