Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Koloni (48-49)

27 Juni 2017   12:15 Diperbarui: 27 Juni 2017   12:51 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Irvan Sjafari

Namun malam ini ia begitu takut pada perempuan.  Terutama dua perempuan yang menawarnya dengan penuh nafsu.  Seribu ringgit, seribu dua ratus ringgit, naik lagi seribu tiga ratus ringgit.  Itu harganya. 

Dia kini milik seorang perempuan bertato dan berotot. Usianya mungkin hampir tiga puluh.  Wajahnya sebetulnya masih selera dia.    Namun yang menakutkan, ketika Afrizal diturunkan dari panggung dengan tangan terikat dan diseret oleh tiga perempuan itu.  Sadarlah ia bahwa dirinya bukan untuk satu perempuan. 

Ada delapan lagi menanti dalam sebuah truk. Seorang di antaranya sudah menggigit kecil telinganya mencoba merangsangnya.  Afrizal tidak berselera melihat masing-masing wajah perempuan yang mengerubutinya. 

Dia dipaksa meneguk sejenis minuman yang membuat libidonya naik.  Dia ingat bagaimana perempuan yang diperkosa ia dan kawan-kawannya lebih dulu dipaksa meneguk minuman keras. Yang lebih membuatnya takut ketika dua perempuan menurunkan seorang laki-laki yang sudah keriput wajahnya, rambutnya memutih dan tubuhnya kurus. 

Laki-laki yang tampak tua itu berbisik. “Saya seumur dengan kamu. Virus razov menggeroti saya ketika dipaksa melayani mereka. Kini saya bebas, tetapi untuk apa?”

“Sudah kamu pergi, sana!” teriak salah seorang perempuan.

Afrizal akhirnya menyadari bagaimana rasanya diperkosa ramai-ramai.  Ia melihat dari kejauhan bagaimana komandannya Christ Malcom digelendang oleh belasan perempuan dan semua teman-temannya diperlakukan sama. Lelang sudah selesai dalam satu jam.

Terlalu banyak konsumen di tempat itu.    Dia tidak tahu lagi nasib mereka, ketika ia digelendang ke sebuah rumah di mana ada sepuluh perempuan lagi menunggu.

“Akhirnya ada barang segar!”  celetuk seorang perempuan dengan tawa berderai.  Dia lalu melihat wajah Afrizal dan membelainya. “Tenang kakak.  Kamu hanya tinggal makan, minum, olahraga, mandi dan melayani kami.  Mudah-mudahan tidak seperti kakak sebelum kamu yang hanya tahan dua tahun.”

Perempuan itu membelai pipinya dengan tatapan sinis.

Afrizal pernah mendengar soal janji 72 bidadari.  Tetapi kali ini ia tidak berminat melayani 72 perempuan. Sekalipun ia merasa naluri seksualnya sebagai spesies lazimnya sudah di ubun-ubun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun