Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | Koloni (48-49)

27 Juni 2017   12:15 Diperbarui: 27 Juni 2017   12:51 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Irvan Sjafari

Segmen Empat

Persaudaraan Serangga: Pasca Pertempuran

   

EMPAT PULUH TUJUH

Waktu dan Tempat Tak Diketahui

Klinik milik Koloni berada di Blok I, dekat Rumah Mahkota.  Kapasitasnya sebetulnya tidak untuk banyak orang.  Tetapi klinik yang dipimpin Dokter Latifah punya bangsal darurat.  Di sana mereka yang meninggal disemayamkan untuk dibersihkan.

Belum tengah hari mereka yang gugur telah terdata.  Dalam satu barisan, jenazah Andromeda, Perwira senior semut, Gunawan, perwira senior semut, Prajurit Anastasia Hanni,  Nyoman Astra, Hamid Abdullah,  Danny Yuan, Fifi Novika. tujuh orang. Masing-masing dalam satu peti. Karena ada jenazah yang tidak utuh.

Dari barisan tawon, Prajurit Elsa Marisa, Salazar, Haikal Marwan, Frans Sagala, Henk Andrian, Siti Aminah. Terhitung enam orang, masing-masing dalam satu peti. Siap disemayamkan.

Ahmady hadir menyaksikan dua anak buahnya terbujur kaku dalam peti, jadi satu dengan delapan serdadu pengawal pulau ini.   Dia diampingi Brigadir Jenderal Irawan Prayitna.  

“Kita menang Jenderal. Mereka yang gugur di barisan satu dan dua usianya belasan tahun, tetapi mereka bisa bertempur seperti kita, ada yang perempuan lagi.  Lalu mereka begitu santai setelah bertempur.  Mereka seperti semut dan tawon membela huniannya,” ujar Ahmady kagum.

 

Andro ditemani oleh Kamayanti isterinya.  Wajahnya sedih, tetapi dia sama sekali tidak menangis.  Begitu juga Zahra.  Dia tetap di samping Alif tanpa rasa cemas berlebihan.  Alif jadi ingat perkataan Anis.  Anak-anak itu terlatih untuk kehilangan.

Harum juga ada di sana bersama Anis.  Mereka memberikan penghormatan, karena siang ini juga jenazah di pihak koloni dikuburkan.

Harum mendekati Alif.  “Masih banyak kejutan lain Kang Alif?”  (Astaga dia memanggil Kang. Bukan lagi Kak). “Bagian pertama permintaan kamu dikabulkan. Teman-temanmu boleh tinggal di sini. Tetapi mulai hari ini kami harus dijaga ketat sampai hari H. siapa yang jaga yaa? Evan Sektian…!!”

“ Siap Kak!!!”  terdengar suara di belakang.

Tiba-tiba air muka Zahra berubah. “Nggak saya saja Kak Harum. Mohon yaaa...!!” Zahra berubah manja.

“ Mulai saat ini tugas kamu ikuti ke mana dia pergi. Dia sudah tahu soal pintu portal.  Dia tanggungjawabmu.  Kalau tidak Evan yang akan menjaganya.”

Sialan!  Harum tahu sekali menciptakan pengawal yang paling terampuh buat dirinya.  Alif hanya bisa pasrah.  Dia beruntung peluru hanya menyerempet bahunya.  Zahra memegang erat-erat tangannya. Euca dan Actie datang kemudian.  Mereka di belakang Evan Sektian.

“Ahmady ini kenalkan anakku yang lain, calon prajurit di Koloni ini.”

Ahmady melihat sahabatnya.  Dia bertambah kagum terhadap dunia baru ini.  Dia mendekati Alif. “Anak-anak luh? Lebih hebat dari bapaknya”

Alif melihat jenazah  Andro. Keduanyasudah sahabat. Tak ada rasa menyesal. Andro adalah prajurit semut sejati.  Kamayanti  menitikan air matanya dan mencium keningnya. “Selamat jalan Kak Andro. Terima kasih mendampingi aku sejak kecil.”

Anak mereka Meyda juga ada di sana ganti menciumnya.  Malah dia tidak menangis. Keduanya menutup rambut mereka dengan kain hitam. Mereka berlalu.  Evan dan enam serdadu semut perempuan membawa peti Andro dengan dingin. Diikuti peti serdadu semut lainnya. Juga serdadu tawon membawa jenazah kawan-kawan mereka.  

Alif justru menangis.  Zahra hanya melihat saja dengan tatapan lembut.  Dia membiarkan saja air mata suaminya menetes. 

“ Waktu kami kehilangan Yunus dan beberapa lain karena penerobosan di portal  persis seperti ini. Kematian hanya sebuah siklus,” kata Nanang.  

Mereka yang luka dirawat di tempat lain. Sersan Candra Kirana, dua serdadu pulau dan empat serdadu semut.

Di pihak lawan, termasuk mereka yang jadi tinggal sepatunya, terhitung tiga puluh empat orang juga dikubur di perkuburan koloni walau tempatnya terpisah.

“Tahanan itu akan dilepas?”

“Dilepas Jenderal, mereka akan membawa pasukan lain?” ucap Ahmady.

“Koloni tidak mau menerima mereka lagi.  Kami hidup dengan filsafat serangga, ganas terhadap yang meyerang, tetapi tidak pendendam. Silahkan saja  menyerang. Kita akan melawan sampai orang terakhir.”

“Secara militer tak ada keuntungannya. Kerugiannya akan lebih besar bagi Rezim Dhimas. Apalagi setelah melihat perlawanan hari ini.”

“Benar kawan! Kalau saya jadi Jenderal mereka lebih baik mempertahankan kedudukan daripada mencari musuh baru.”

Rapat kilat para tetua, rencananya empat serdadu dan empat yang luka setelah dirawat ditambah empat tahanan lain dilepas.  Mereka ditumpuk dalam satu perahu karet dan dilepas di tengah laut dengan perbekalan makanan dan minuman untuk tiga hari, tetapi tanpa kompas. Senjata mereka hanya dua pucuk pistol dan selusin peluru yang sudah dipisah.

 

“Posisi kita tidak diketahui?”  tanya Alif pada Anis.

Nggak!  Tanpa peralatan di Gedebage Bandung Technopolis dan peralatan itu sudah dibawah Kak Yuyi dan Kak Januar!  Lagipula pihak sana masih sibuk dengan urusan lain.”

Mereka yang muslim gugur disalatkan di masjid koloni, yang beragama nasrani dan katolik di gereja, satu di pura dan satu di vihara.   

Kemudian para jenazah dibawa dengan kereta berbentuk semut atau tawon diiringi sekitar dua ratus warga koloni.  Achmady termasuk yang ikut mengiringi dengan air muka yang antara percaya dan tidak percaya.  Apalagi ada sahabatnya Alif dengan ikat kepala hitam dan baju dan celana hitam-hitam.  Hanya dia sendiri yang rambutnya ditutup baret marinirnya.

Yola dan Dhini di sana mengikuti. Begitu juga Nanda. Mereka juga masih takjub. Nanda dan Yola mendekati Zahra, melontarkan pertanyaan konyol.

“Bagaimana rasanya jadi bidadari Alif?” tanya Yola.

Alif ingin membungkam mulutnya. Karena dia tahu Zahra menjawabnya serampangannya. “Seperti kupu-kupu.” Jawabnya.   

  

“Apa kabar Bandung…?” Alif mengalihkan perhatian. “Setidaknya sampai mereka datang Bandung selamat.

“Di tangan mereka. Daniel ditangkap.  Ibu dan adikmu masih hidup. Frisca sudah menikah dan bakal punya anak.”

“Mereka bawa tentara asing?”

“Yuup…ada yang dari Amerika Serikat, Afrika, Asia Tengah, Amerika latin, Inggris. Padahal AS sedang porak-poranda, RRC juga,  Rusia juga, Eropa hanya tinggal Skadinalvia yang utuh.   Tatanan dunia sedang runtuh Lif.  Kalau boleh memilih, gue lebih suka di sini,” bisik Yola. “Gue juga kehilangan suami.”

   

Sebelum matahari meninggi jenazah usai dikuburkan. Sebagian ada yang dibakar.  Achmady memberi penghormatan pada rekannya yang gugur tanpa dihadiri keluarganya bahkan keluarganya tidak dapat kabar sama sekali. 

Alif melihat Kamayanti membawa Meyda berusia tujuh tahun dengan tegar.  Maya berhenti ketika Alif dan Zahra mengiringinya berjalan bersama Euca dan Actie.  Ketiganya sebaya dan mereka bermain meninggalkan orangtua mereka. 

Achmady menyalami Maya. “Terima kasih suami Anda menyelamatkan kami!  Siapa.?”

“Maya,” katanya pendek. Dia tersenyum. Tinggi Achmady setara suaminya.  “Kakak siapa?”

“Achmady…”

“Tiga hari lagi malam purnama. Kakak ikut yaa makan bersama kami.”

Achmady mengangguk.  Kamayanti kemudian berjalan sendiri. Achmady sendiri diajak beberapa serdadu penjaga pulau anak buah Irwan.  Bisa dipastikan Achmady dan anak buahnya menjadi bagian pertahanan koloni. 

Alif sendiri pulang bersama Zahra. “Makan dulu di aula bersama warga lain.” bisik Zahra.”Kawan kakak nanti juga gabung.”

Ketika makan bersama hujan deras turun.  Koloni dengan cepat melupakan kematian kawan-kawan mereka seolah hal itu siklus yang harus diterima.  Kamayanti  memang masih berkabung.  Achmady jadi iba melihatnya.  Sekali-sekali ia melirik perempuan yang terpaut kira-kira  delapan tahun dari dirinya.

Yola tersenyum melihat Dhini ditemani seorang anak laki-laki kira-kira tiga tahun di atas usia anaknya. Keduanya sudah berbusana seperti warga koloni.  Hanya saja keduanya berbusana hijau-hijau.

“Ini surga ya Lif? “ kata Yola.

 Benar kawan. Kamu percaya kan perempuan pun disediakan bidadara?” celetuk Alif sambal melirik Dhini dan “kawannya” seorang anak laki-laki kira-kira tiga tahun di atasnya.

“Preek!”  Yola tertawa kecil.

       

EMPAT PULUH SEMBILAN

Tempat tak diketahui waktu sekitar dua belas  hari setelah serangan ke koloni.

 Letnan Dua Christ Malcom menggerutu.  Sebab hanya tinggal dia, seorang serdadu lain bule yang masih hidup dan dua serdadu loyalis Dhimas Harris yang masih hidup.  Empat rekannya, dua dari Asia Tengah, satu Afrika, dan satu loyalis Dhimas tak berdaya.  Kaki mereka masih diperban, walau sudah tidak mengeluarkan darah lagi.   

“Kita dikalahkan anak-anak kecil. Siapa mereka Letnan?” ucap Sersan Winanda, loyalis Dhimas Harris.

“Skill mereka sama dengan kami. Mereka unggul karena menguasai medan,” sahut Christ Malcom.

“Pulau apa itu? Kita tadi delapan puluh orang, tinggal enam.  Tiga puluh mati di kecelakaan sebelum tiba di pulau.  Lebih dari  empat puluh,  termasuk Mayor James Arthur dan Kapten Harding tewas di pulau itu. Mereka punya pengalaman perang di timur tengah melawan militan puluhan tahun. Mustahil mati begitu saja di tangan anak kecil, perempuan lagi.”

Empat lagi diketahuinya adalah milisi preman entah untuk apa mereka ke pulau. Tetapi badan mereka tambun karena kurang gerak dan banyak makan.  Mereka hanya bersyukur tiba di sebuah pulau di Lautan Cina Selatan, persis ketika perbekaan habis.

Sekitar pukul sembilan pagi.  Malcom menembak berapa butir tangkai kelapa muda dan menikmati airnya dengan lahap.  Berapa ekor kepiting juga dijadikan santapan mereka.  Setelah tenaga pulih mereka beristirahat hutan kelapa.  

 “Coba kalian lihat-lihat sekeling pulau!”  perintah Malcom pada tiga preman.

Para preman itu tak punya pilihan lain, karena mereka sudah tak tahu berapa lama ditahan, tidak tahu siapa yang menahan dan tahu-tahu dilepas, lalu disatukan dengan tantara asing.    

Keempat preman berjalan saling menjaga.  Sepertinya pulau ini tidak berpenghuni.  Kecuali berapa hewan seperti kepiting, burung, kalong, hal yang biasa di pulau tropis.  Yang tidak biasa ialah hewan yang hidup mereka yang terbang atau mereka yang tinggal di air asin dan mungkin juga di sungai.

“Sudah berapa lama kita ditahan? Makanannya enak-enak. Kita disugguhi tontonan video, kerjanya tidur-tiduran, hanya tidak boleh keluar,” ucap seorang preman.

“Dulu ngapain ikut bos mencari anak itu sampai ke pulau ini? Kita terlalu menganggap remeh. Beruntung nggakmati seperti kawan yang lain,” sahut preman lainnya. 

Seorang serdadu loyalis Dhimas menemukan beberapa ekor kerangka kera dengan sedikit kulit seperti ada yang memakan habis.  Begitu juga kulit ular kering dengan kerangkanya.

“Benar-benar habis, Ser! Ada yang menggerogoti!”

Malcom mulanya mengira ada penghuni manusia di pulau ini.

“Di mana kamu orang menemukannya?”

Serdadu itu menunjuk ke hutan kelapa sisi lain?”

Malcom mengikuti sambil member perintah agar dua serdadu lain menjaga yang luka. Pistolnya sudah dikokang, siap menembak.

 Mereka membuka mata dan telinga. Mereka menemukan sebuah pesawat berhuruf Mandarin pecah berantakan di tengah pulau. Beberapa drum terbuka. Di sana terdapat delapan kerangka manusia utuh dengan seragam yang terkoyak.

“China People Republic, Ser?”  ujar loyalis itu dengan Bahasa Inggris sebisanya. “ Shoot by USA? Maybe ten years ago.”

“They bring radio active.”

“Oh, My god…”

Para serdadu itu berharap kelapanya tidak tercemar dan begitu juga kepiting yang mereka makan. Tak lama kemudian serdadu bule lainnya bergabung bersama mereka, karena memang sudah tidak ada orang lain. Kawan mereka yang luka cukup aman di pantai dan cukup dijaga seorang serdadu dengan sepucuk pistol.

Christ Malcom dan kawan-kawannya meneruskan penjelajahan pulau.  Beberapa kali mereka menemukan kerangka kera dengan kulit begitu bersih.

“Saya merasa ada yang tidak beres,” ujar Malcom.  

Manuel Biyik, seorang serdadu bayaran asal Afrika menikmati hangatnya mentari. Daging kepiting dan sebutir kelapa membuatnya perutnya kenyang.  Luka di betisnya sudah mengering hingga dia melepas perbannnya.  Dia juga melepas kedua sepatu larsnya karena sudah terlalu lama.  Begitu juga celana panjangnya hingga celana pendek.  Begitu juga bajunya. Lalu dia berbaring memejam mata.

Sherpa Kang  yang terluka di bahunya juga melepas perbannya. Bahkan baju atasnya karena merasa sudah gerah. Seperti halnya Biyik, dia juga melepas sepatunya dan membiarkan pasir yang lembut menyentuh jemari kakinya.

Keduanya memang terpisah dari dua rekan mereka yang terluka dijaga seorang serdadu sekitar seratus meter. Toh,ada pisau kukri di pinggang Kang yang entar mengapa diberikan oleh serdadu koloni. Mungkin karena mereka tahu Sherpa Kang seorang ksatria.

Tidak ada yang aneh, sampai Biyik merasa ada yang merayap di jemari kakinya. Seekor semut merah, ia menepisnya. Lalu ia kembali memejam matanya.  Beberapa menit kemudian ia merasa ada yang merayap di betisnya. Tanpa melihat ia menepis lagi. Beberapa gigitan semut tidak ia pedulikan. Ia kemudian terlelap.

Tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa di bekas lukanya. Manuel berteriak ngeri ketika semut-semut merah masing-masing sebesar jempol manusia melubangi betisnya hingga terlihat daging merahnya.   Kengerian bertambah hanya butuh lima menit betis kakinya dikerubuti semut hingga sudah tampak tulangnya.

Sersan Winanda  yang menjaga mereka sudah datang membawa kayu yang dibakar mengusir semut-semut.  Manuel melihat tubuh Serpa Kang utuh dikerubuti semut. Dia sudah tewas tanpa disadari. Namun upaya Winanda sia-sia semut-semut berukuran beberapa berkali lipat semut rangrang yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya datang bagaikan lautan, jumlahnya jutaan ekor.

Manuel berteriak ketika semut-semut itu mengangkutnya menuju sarangnya. Dia masih hidup. Begitu juga Kang.

Winanda menembak pistol ke kepala Manuel untuk mengakhiri penderitaanya.

Suara tembakan Winanda  mengundang Christ Malcom lari ke pantai. Mereka terkejut melihat dua rekan mereka setengah menjadi kerangka ketika dibawa jutaan semut. Obor dari Winanda hanya mematikan sebagian semut.

Mereka kemudian membantu dua rekan yang luka lain berdiri menuju perahu karet. Mereka sekarang menyadari mengapa tidak ada hewan darat di pulau ini.

Di bagian lain pulau itu seorang preman terperosok lubang yang ternyata sarang koloni semut. Dengan cepat dia dikerubuti. Seorang temannya yang menolong malah ikut terperosok.  Tanpa ampun jutaan semut menyergap mereka. 

Dua preman lain hanya melongo. Kemudian memutuskan untuk lari dengan nafas tersengal-sengal. Mereka masih mendengar teriakan teman-teman mereka terakhir

Kedua preman itu melihat suasana pantai  tak kalah mengerikan.  Christ Malcom dan kawan-kawannya berusaha mengusir jutaan semut yang menyeret dua rekan mereka yang terluka di kaki dan akhirnya semut-semut itu menang.   Christ Malcom dan tiga serdadu melompat ke perahu karet yang segera melaut.  Diikuti kedua preman ini dengan kengerian yang tak terbayangkan.

Mereka mendayung sekuatnya dan mereka sudah di tengah laut. Pulau itu sudah jadi koloni semut yang bermutasi karena radio aktif.  Perang Dunia Ketiga memberi bencana lain.

Dua jam  mereka terkatung-katung di tengah laut. Empat serdadu dan dua preman mendayung bergantian tanpa sempat membawa perbekalan.  Mereka merasa beruntung melihat sebuah kapal, mungkin kapal barang.

Awak kapal itu melihat mereka dan menghampiri.  Kapal itu berisi sembilan belas laki-laki dan enam perempuan   berwajah Melayu dan sebagian lagi Indocina.  Mereka memberikan minuman dan makanan tanpa banyak bicara, kecuali senyuman. Sebetulnya Christ Malcom tidak terlalu percaya pada mereka, tetapi ia tak punya pilihan. 

Kedua preman  itu tanpa malu-malu meneguk tuak yang disediakan di meja. Mereka lebih dulu mengambil nasi, sayuran nangka dan potongan ayam goreng. Akhirnya keempat serdadu itu mengikuti.  Keenamnya makan dengan lahap. 

Malcom satu-satunya yang merasa aneh melihat empat awak kapal mengelingi mereka, tetap tersenyum.  Mereka menunggu sesuatu.  Masalahnya ia merasa mengantuk dan ia sempat melihat kawan-kawannya jatuh satu demi satu terlelap.

Lalu terdengar derai sinis para penolong mereka.  Malcom masih semaput ketika ia merasa tubuhnya diangkut dan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan bersama teman-temannya.

Malcom tidak tahu berapa lama ia dibius.  Di a tersadar ketika air dingin menyiramnya.  Di mendapatkan dirinya dan lima rekannya terikat di sebuah tiang.  Sudah larut malam.  Dia merasa ada di suatu tempat di tengah hutan entah di mana.  

Rekannya serdadu bule yang dipanggil Private Justine juga sama bingungnya.   Mereka ada di atas panggung terbuat dari kayu.  Sebagai seorang tentara Malcom harus membaca medan.  Namun yang dilihatnya tidak pernah ditemuinya selama menjadi tentara.

Ratusan mungkin ribuan perempuan mengelilingi mereka.  Empat di antaranya berada di atas panggung.  Seorang di antara mereka bicara dalam Bahasa Melayu. “Dimulai dari yang ini kira-kira tiga puluh lima tahun, masih segar! Belum tercemar!”

“Budak Melayu itu!    Seribu ringgit!”  teriak seorang perempuan dengan wajah yang kasar menunjuk pada seorang anak buahnya seorang preman. “Kami tidak suka bule!” 

Namanya Afrizal.  Dia pernah ditahan di penjara ketika masih belasan tahun karena memperkosa seorang perempuan di angkot bersama tiga kawannya. Hanya kena lima tahun dan tidak membuatnya kapok di dunia kriminal hingga akhirnya bergabung dengan geng penyelundup.  Dia menikmati hidup punya uang dan akhirnya main perempuan  yang ia suka dari satu ke tempat lain. Sampai akhrinya ia tiba  di pulau yang ia sangka penghuniya tidak melawan pasukan bersenjata.

Namun malam ini ia begitu takut pada perempuan.  Terutama dua perempuan yang menawarnya dengan penuh nafsu.  Seribu ringgit, seribu dua ratus ringgit, naik lagi seribu tiga ratus ringgit.  Itu harganya. 

Dia kini milik seorang perempuan bertato dan berotot. Usianya mungkin hampir tiga puluh.  Wajahnya sebetulnya masih selera dia.    Namun yang menakutkan, ketika Afrizal diturunkan dari panggung dengan tangan terikat dan diseret oleh tiga perempuan itu.  Sadarlah ia bahwa dirinya bukan untuk satu perempuan. 

Ada delapan lagi menanti dalam sebuah truk. Seorang di antaranya sudah menggigit kecil telinganya mencoba merangsangnya.  Afrizal tidak berselera melihat masing-masing wajah perempuan yang mengerubutinya. 

Dia dipaksa meneguk sejenis minuman yang membuat libidonya naik.  Dia ingat bagaimana perempuan yang diperkosa ia dan kawan-kawannya lebih dulu dipaksa meneguk minuman keras. Yang lebih membuatnya takut ketika dua perempuan menurunkan seorang laki-laki yang sudah keriput wajahnya, rambutnya memutih dan tubuhnya kurus. 

Laki-laki yang tampak tua itu berbisik. “Saya seumur dengan kamu. Virus razov menggeroti saya ketika dipaksa melayani mereka. Kini saya bebas, tetapi untuk apa?”

“Sudah kamu pergi, sana!” teriak salah seorang perempuan.

Afrizal akhirnya menyadari bagaimana rasanya diperkosa ramai-ramai.  Ia melihat dari kejauhan bagaimana komandannya Christ Malcom digelendang oleh belasan perempuan dan semua teman-temannya diperlakukan sama. Lelang sudah selesai dalam satu jam.

Terlalu banyak konsumen di tempat itu.    Dia tidak tahu lagi nasib mereka, ketika ia digelendang ke sebuah rumah di mana ada sepuluh perempuan lagi menunggu.

“Akhirnya ada barang segar!”  celetuk seorang perempuan dengan tawa berderai.  Dia lalu melihat wajah Afrizal dan membelainya. “Tenang kakak.  Kamu hanya tinggal makan, minum, olahraga, mandi dan melayani kami.  Mudah-mudahan tidak seperti kakak sebelum kamu yang hanya tahan dua tahun.”

Perempuan itu membelai pipinya dengan tatapan sinis.

Afrizal pernah mendengar soal janji 72 bidadari.  Tetapi kali ini ia tidak berminat melayani 72 perempuan. Sekalipun ia merasa naluri seksualnya sebagai spesies lazimnya sudah di ubun-ubun.

      

“Please Nourma, suruh dia mandi dulu! Sudah itu kita undi siapa dulu yang mulai!”  terdengar teriakan di dalam.

Sayub-sayub dari radio dalam truk mengalun lagu lawas. Lagu yang entah berapa puluh tahun.

Ditakdirkan alam pria dan wanita/Dua mahluk asuhan dewata/Ditakdirkan pria berkuasa/Wanita dijadikan perhiasan sangkar madu.

 (BERSAMBUNG)

Irvan Sjafari

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun