Aku terbangun dengan kantuk yang masih bersemayam seolah-olah terus berupaya menahan kelopak mataku untuk tetap menutup. Rahmi membawaku ke Gedebage Bandung Technopolis dan memintaku tidur di atas bed tersedia dalam sebuah ruangan. Hanya dua jam. Dia memintaku menunggu.
Pukul lima. Aku mengambil air wudhu di kamar mandi di dekat ruangan itu dan salat. Aku terkejut melihat tas berisi pakaianku sudah tersedia dalam carrier 45 liter. Rahmi muncul bersama Letkol Ahmady dan lima marinir.
“Bagaimana situasi?” tanyaku.
“Blietzkrieg. Pasukan lawan begitu banyak membuat pasukan kita terpukul mundur. Gue dan lima anak buah gue terkepung dan tiba-tiba ditolong orang-orang Gedebage dibawa kemari. Yola dan anaknya juga ada di sini.”
“Nggak bisa kontak?”
“Blank spot. Menara seluler tersisa sudah dikuasai oleh mereka. Kemungkinan disadap. Kalau kita menghubungi mereka malah mengetahui posisi pasukan,” ujar Ahmady.
Tak lama kemudian Yola datang bersama Dhini anaknya. Dia diantar seorang perempuan bertubuh mungil dengan rambut dipotong pendek masih memakai papan nama di dadanya : Yuyi Namara. Tak lama kemudian muncul Januar Effendy.
“Segera mandi. Kita berangkat satu jam lagi.” katanya. “Teteh ditunggu di Aula tak jauh dari ruangan ini.”
Masih diliputi tanda tanya aku bergegas untuk mandi. Hal yang biasa bagiku untuk mandi dan berkemas dalam waktu singkat. Aku tidak tahu apa yang dimaksudnya untuk berangkat. Lagipula ke mana? Bagaimana pula mereka menyiapkan pakaian aku yang ada di kamar kos di rumah Alif? Lalu mengapa Frisca dan ibunya Alif tidak diajak? Mungkin dia ada suaminya. Lagipula tenaga mereka juga dibutuhkan rezim.
Yuyi Namara dan Januar Effendy sudah menunggu kami di aula. Lalu mereka mengajak kami ke ruangan atas yang belum pernah saya lihat. Di sana ada ruangan besar. Sebuah kendaraan berbentuk kumbang raksasa sudah menunggu. Dua rekan Yuyi juga menunggu di sana.
“Apa ini Dik?” tanya Ahmady.