Hanya kami berdua hari itu, karena naik pada hari kerja. Agak aneh, harusnya ada penjaga keamanan di sekitar lokasi. Apalagi Soekarno sudah mengumumkan SOB [1]. Sekalipun Jawa Barat tidak gerakan di daerah, tetapi Front Pemuda Sunda sudah beberapa kali melakukan provokasi.
Jangan-jangan?
Empat laki-laki berseragam hijau tanpa tanda pangkat dari kejauhan. Mereka mengawasi kami. Sebagai jurnalis yang pernah meliput waktu Perang Kemerdekaan, saya tahu persis yang disandang seorang di antara mereka sten, yang tiga mungkin membawa pistol. Dyah menyadari hal itu dan melihat mimik wajah saya begitu khawatir. Saya khawatir mereka menggarong kami, tetapi kami punya apa? Paling-paling kami berdua bawa uang Rp 25, pas untuk makan siang dan ongkos pulang ke Bandung.
Tetapi Dyah menunjukkan dirinya Nyi Iteung dengan wajah yang polos dan memberikan senyum khas perempuan desa.
“ Saha Neng? Suaminya?”
“ Iya. Jalan sama Akang saya,” sahut dia tetap tenang.
Keempat laki-laki itu tidak menghampiri kami. Mereka mengincar yang lain. Mereka bersembunyi di belakang batu-batu dan tanaman yang rimbun, ketika sebuah mobil jenis Chevrolet datang. Lalu saya menarik Dyah untuk menjauh. Disusul sebuah jip willis berisi dua orang tentara dan seorang yang saya tahu berseragam OKD[2]. Dari Chevrolet turun seorang pria setengah baya, supirnya dan dua laki-laki muda. Rupanya mereka ingin melihat keadaan kawah. Berapa tahun lalu ada desas-desus yang menyebutkan Tangkubanparahu akan meletus. Warga Bandung lebih takut Tangkubanparahu meletus daripada dicegat gerombolan.
“Nakunahon si Akang dan si Neng? Tidak ke pos dahulu?” kata laki-laki setengah baya.
Tembakan meletus sebelum salah seorang dari kami menjawab. Saya menarik tangan Dyah untuk bersembunyi di balik batu. Peluru menembus dinding Chevrolet. Tentara membalas sambil berlindung di balik jip.
“Kalian ke pos!” teriak seorang tentara.
Tanpa banyak bicara lagi saya membawa Dyah meninggalkan lokasi. Kalau saya sedang tugas dan tidak bersama Dyah tentu saya akan tetap di tempat. Tetapi Dyah justru menahan saya dan tetap di balik batu.