Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Perempuan yang Menyebut Dirinya Nyi Iteung

28 Agustus 2016   15:30 Diperbarui: 31 Agustus 2016   16:31 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Sekitar satu setengah jam berjalan kaki melalui hutan, keringat kami bercucuran. Bau belerang mulai tercium tandanya kami sudah mendekati Gunung Tangkubanparahu. Saya sekitar sepuluh meter tertinggal oleh Dyah Wahyuni yang begitu bersemangat. Mungkin pelesir petualangan seperti ini membuat dia bisa bangkit melupakan bagaimana rasanya dikhianati oleh laki-laki. Dyah Wahyuni bukan hanya sekali disakiti laki-laki, tetapi beberapa kali. Sepanjang perjalanan dia bercerita soal itu.

“Saya pernah lupa rasanya jatuh cinta. Ada yang pernah hidupnya saya biayai, tetapi kemudian dia meninggalkan saya ketika sudah bekerja di perusahaan GIA.”

“ Pilot?”

“ Ya. Dia lulusan sekolah penerbangan Curug,” kata Dyah.

Yang diinginkannya seperti sederhana, ingin suami biasa saja, dia sebagai istri menunggu di rumah ketika suami mencari nafkah. Bagi dia emansipasi menulis, mengungkapkan apa pandangannya soal dunia dan perasaannya, pokoknya berekspresi. Dia belajar menulis dengan saya. Pendeknya cita-citanya menjadi Nyi Iteung modern. Laki-laki yang ia dambakan ialah seperti Si Kabayan, pria bersahaja tetapi setia pada istri.

Lalu mengapa saya bersimpati? Jatuh cintakah saya sebenarnya? Saya tidak tahu. Anehnya saya tidak cemburu kalau dia dekat dengan laki-laki lain. Ketika dia menikah saya sebetulnya ingin hadir kalau tidak dikirim ke Sumatera Barat, tempat asal orang tua. Merasa kehilangan juga menerima surat undangan, tetapi akhirnya ikhlas. Tetapi kalau tidak membaca surat dia atau tulisan dia di surat kabar, atau tidak bertemu rasanya ada yang hilang.

Dyah Wahyuni terus berjalan. Dia mungkin melamun. Saya juga melamun. Saya juga pernah merasakan kehilangan cinta sewaktu duduk di bangku AMS di Bandung, seorang gadis peranakan Arab menolak saya. Masa penjajahan menempatkan ras pribumi di strata paling bawah. Sudah paling bawah, kaum menak, bangsawan dan priyayi juga menempatkan diri sebagai merasa tinggi. Apa artinya, saya anak seorang guru. Masa lalu dan saya tidak mau menikah hingga sekarang. Saya baru bisa melupakan perempuan peranakan Arab itu setelah sepuluh tahun.

Dua jam sudah berjalan. Kawah Tangkubanparahu terhampar di mata kami. Begitu indah. Sekitar pukul sembilan udara dingin, tetapi untungnya matahari bersinar cerah dan kehangatannya menyapa kulit wajah kami. Dyah tampak gembira. Saya suka melihat dia gembira, apalagi kalau dia tertawa. Tetapi kalau dia bersedih, saya juga merasa bersedih.

“Memangnya kamu pertama kali ke Tangkubanparahu? Selama di Bandung, ke mana saja?”

“ Iya, nggak sempat Kang! Saya pernah ke Situ Patenggang dan perkebunan teh selatan Bandung bersama teman-teman sekolah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun