Banjir telah menjadi masalah kronis yang terus menghantui banyak wilayah di Indonesia. Musim hujan selalu datang membawa kekhawatiran, dan banjir seakan menjadi tamu tak diundang yang merusak properti dan mengganggu aktivitas masyarakat.Â
Di banyak tempat, termasuk Bali, baru-baru ini, Bandung Selatan seperti Dayeuh Kolot, Gede Bage di Kota Bandung bencana ini semakin sering terjadi dengan dampak yang semakin parah. Berita tentang genangan air yang melumpuhkan jalanan, merendam rumah, dan menyebabkan kerugian finansial bukan lagi hal baru.Â
Fenomena ini memaksa kita untuk berpikir lebih keras, lebih kreatif, dan lebih proaktif. Solusi konvensional seperti membangun bendungan atau memperlebar sungai ternyata tidak cukup. Kita butuh inovasi, sebuah pendekatan holistik yang menyentuh akar permasalahan.Â
Salah satu akar masalah terbesar adalah perilaku kita sendiri dalam mengelola lingkungan. Dua hal yang sering luput dari perhatian, namun memiliki peran krusial, adalah pengelolaan sampah dan alih fungsi lahan.
Banjir di Bali yang terjadi baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana masalah lingkungan yang terabaikan dapat berujung pada bencana. Pulau yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia ini menghadapi tantangan serius. Hujan lebat selama beberapa jam saja sudah cukup untuk membuat beberapa titik vital di Bali terendam.Â
Jalan-jalan utama tergenang, bahkan hingga ke area perkantoran dan perumahan. Penyebabnya beragam, mulai dari drainase yang tidak mampu menampung volume air, hingga yang paling mendasar yaitu tumpukan sampah yang menyumbat saluran air.Â
Sampah-sampah plastik, botol, dan bungkus makanan yang dibuang sembarangan berakhir di parit dan sungai, membentuk bendungan-bendungan kecil yang menghalangi laju air. Akibatnya, air meluap dan membanjiri jalanan serta permukiman.Â
Kejadian ini membuktikan bahwa banjir bukan hanya masalah geografis atau iklim, tetapi juga masalah kebiasaan. Jika kebiasaan membuang sampah sembarangan tidak diubah, bencana serupa akan terus berulang.
Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan alam. Sebaliknya, kita harus mulai mengendalikan apa yang bisa kita kendalikan, sampah. Perubahan kecil dalam cara kita memperlakukan sampah dapat membawa dampak besar.Â
Mengelola sampah tidak hanya berarti membuangnya ke tempat yang benar, tetapi juga memilah, mendaur ulang, dan bahkan menjadikannya bernilai ekonomi. Saat sampah yang didaur ulang menjadi produk baru, kita telah mengurangi volume sampah yang berpotensi menyumbat saluran air.Â
Namun, lebih dari itu, kita juga bisa mengubah sampah menjadi "mata air" baru. Ini bukan hanya metafora, ini adalah kenyataan. Misalnya, sampah organik dapat diubah menjadi kompos yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Kompos ini dapat digunakan untuk menanam pohon, yang pada akhirnya akan membantu penyerapan air.Â
Jadi, sampah yang tadinya adalah penyebab banjir, kini berubah menjadi solusi yang membantu mencegahnya.
Inovasi Sampah: Mengubah Masalah Menjadi Berkah
Pengelolaan sampah yang efektif dimulai dari rumah. Langkah pertama yang paling krusial adalah pemilahan sampah. Sampah harus dipisahkan menjadi dua kategori utama: sampah organik dan anorganik. Sampah organik, seperti sisa makanan, daun, atau ranting, bisa diolah menjadi kompos.Â
Proses ini sederhana dan bisa dilakukan di halaman belakang rumah. Kompos yang dihasilkan tidak hanya berfungsi sebagai pupuk alami, tetapi juga membantu struktur tanah menjadi lebih gembur dan mampu menyerap air lebih baik. Ketika tanah subur dan daya serapnya tinggi, volume air yang mengalir ke saluran drainase atau sungai berkurang secara signifikan, sehingga risiko banjir dapat diminimalkan.
Selain sampah organik, sampah anorganik juga memiliki potensi besar. Bank Sampah adalah salah satu inovasi brilian yang harus digalakkan di setiap lingkungan. Konsepnya sederhana: masyarakat menabung sampah anorganik yang sudah dipilah, seperti botol plastik, kertas, dan kardus, di bank sampah.Â
Sampah-sampah ini kemudian akan dijual kepada pengepul atau pabrik daur ulang. Hasilnya, masyarakat tidak hanya mengurangi tumpukan sampah di lingkungannya, tetapi juga mendapatkan imbalan finansial. Uang yang terkumpul bisa digunakan untuk berbagai keperluan, seperti dana sosial atau kegiatan lingkungan.Â
Dengan cara ini, masyarakat didorong untuk aktif mengelola sampah karena ada insentif ekonomi. Sampah tidak lagi dianggap sebagai limbah tak berguna, melainkan aset yang memiliki nilai.
Pemanfaatan kembali sampah menjadi produk baru juga merupakan bagian penting dari inovasi ini. Contohnya, botol plastik bekas bisa diolah menjadi paving block atau bahan bangunan lainnya. Tas plastik bisa didaur ulang menjadi kerajinan tangan atau tas belanja yang kuat.Â
Dengan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dan sungai, kita secara langsung mengurangi risiko penyumbatan saluran air yang menjadi penyebab utama banjir. Transformasi ini mengubah paradigma dari "buang" menjadi "daur ulang".Â
Ini adalah solusi jangka panjang yang mengubah perilaku masyarakat, tidak hanya sekadar penanggulangan saat bencana datang. Banjir di Bali yang disebabkan oleh tumpukan sampah di saluran air adalah pengingat bahwa kita tidak bisa lagi mengabaikan potensi dari sampah yang kita hasilkan setiap hari.
Alih Fungsi Lahan: Mengembalikan Hak Alam
Selain sampah, alih fungsi lahan juga menjadi faktor krusial penyebab banjir. Di banyak wilayah, termasuk Bali, lahan-lahan hijau seperti sawah, kebun, dan hutan mangrove beralih fungsi menjadi area komersial, perumahan, atau infrastruktur. Proses ini menghilangkan "spons alami" yang seharusnya menyerap air hujan.Â
Ketika tanah yang tadinya gembur dan subur diganti dengan beton dan aspal, daya serap airnya hilang total. Akibatnya, air hujan tidak memiliki tempat untuk meresap dan langsung mengalir ke permukaan, membanjiri jalanan dan permukiman. Hutan-hutan yang tadinya berfungsi sebagai penahan air, kini diganti dengan bangunan-bangunan megah yang hanya mempercepat laju air.
Salah satu solusi untuk masalah ini adalah dengan mempertahankan dan memperluas Ruang Terbuka Hijau (RTH). Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk menjaga lahan-lahan hijau yang masih tersisa dan bahkan membuat yang baru.Â
Hutan kota adalah konsep yang sangat relevan. Dengan menanam pohon-pohon besar di tengah kota, kita menciptakan area resapan air baru. Hutan kota tidak hanya berfungsi sebagai paru-paru kota, tetapi juga sebagai penyerap air hujan yang efektif.Â
Akar-akar pohon dapat menahan tanah, mencegah erosi, dan membantu air meresap ke dalam tanah. Ini adalah investasi jangka panjang yang tidak hanya mengatasi banjir, tetapi juga meningkatkan kualitas udara dan menciptakan lingkungan yang lebih nyaman.
Selain RTH, teknik-teknik lain seperti biopori dan sumur resapan harus digencarkan. Biopori adalah lubang-lubang kecil yang dibuat di tanah untuk mempercepat penyerapan air. Teknik ini sederhana, murah, dan sangat efektif. Setiap rumah tangga bisa membuat biopori di halaman atau pekarangannya.Â
Demikian pula dengan sumur resapan, yang berfungsi sebagai penampung air hujan yang nantinya akan meresap ke dalam tanah. Jika setiap rumah tangga dan gedung di wilayah perkotaan memiliki sumur resapan, volume air yang mengalir ke saluran drainase akan berkurang drastis.Â
Ini adalah langkah-langkah proaktif yang mengembalikan fungsi tanah sebagai penyerap air alami, alih-alih sebagai permukaan kedap air yang mempercepat laju air.
Kesimpulan
Banjir adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi komprehensif. Banjir di Bali dan wilayah lainnya di Indonesia menunjukkan bahwa kita tidak bisa lagi mengandalkan cara-cara lama. Perlu ada perubahan fundamental dalam cara kita berinteraksi dengan lingkungan.Â
Mengubah sampah menjadi mata air dan menjadikan lahan hijau sebagai penyelamat negeri bukanlah sekadar slogan, melainkan tindakan nyata yang harus segera kita laksanakan.Â
Dengan mengelola sampah secara bijak melalui pemilahan dan daur ulang, serta mengembalikan fungsi lahan sebagai penyerap air, kita tidak hanya mengurangi risiko banjir tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan.Â
Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk mewujudkan perubahan ini. Mari kita jadikan setiap krisis banjir sebagai momentum untuk bertindak dan berinovasi demi masa depan yang lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI