Tidak bisa dipungkiri, kehadiran kebun karet dan sawit memberi kami peningkatan ekonomi. Banyak keluarga mampu membangun rumah lebih baik, membeli kendaraan, atau menyekolahkan anak hingga jenjang tinggi. Bagi masyarakat desa, itu kemajuan besar.
Tetapi ada harga yang dibayar. Hutan tropis yang dulu rimbun kini semakin menyempit. Tanah kehilangan keragamannya, air sungai mulai keruh, dan satwa-satwa besar tak lagi punya ruang untuk bertahan. Si-Mbah, yang dulu jadi simbol kewibawaan, kini terpinggirkan, bahkan nyaris hilang.
Inilah ironi terbesar: saat kami manusia menikmati hasil, penguasa rimba justru kehilangan segalanya.
Wibawa yang Terkikis
Jumlah Harimau Sumatera terus menurun. Dari ribuan ekor di masa lalu, kini hanya tersisa sekitar enam ratus di alam liar. Setiap tahun, kabar perburuan dan konflik satwa terus muncul. Harimau dipandang sebagai ancaman, padahal merekalah yang sebenarnya terancam.
Dulu kami segan menyebut namanya. Kini, sebutan itu tak lagi tabu. Bukan karena berani, melainkan karena jarak yang diciptakan oleh kelangkaan. Si-Mbah kini lebih sering hadir dalam cerita rakyat, di kebun binatang, atau di poster konservasi---bukan lagi di rimba dekat kampung.
Si-Mbah sebagai Cermin
Si-Mbah bukan hanya cermin bagi alam, tapi juga bagi manusia. Ia mengingatkan bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Ketika hutan dibuka, ekonomi memang tumbuh. Tapi bersama itu, hilang pula sebagian dari keutuhan hidup.
Harimau yang turun ke desa bukan semata karena lapar, melainkan simbol bahwa keseimbangan sedang retak. Dan ketika alam retak, manusia pun sejatinya kehilangan.
Harapan dari Sisa Rimba
Meski suram, masih ada upaya menjaga. Kawasan konservasi mulai diperketat, patroli hutan berjalan, dan kesadaran masyarakat tumbuh perlahan. Ada pemahaman baru bahwa harimau bukan musuh, melainkan bagian dari keseimbangan ekosistem.