Di Sonomartani, dulu saat saya masih kanak-kanak, ada satu sosok yang tak pernah kami sebut dengan namanya. Kami memanggilnya dengan penuh hormat: Si-Mbah. Begitulah cara kami menyebut Harimau Sumatera, penguasa rimba yang disegani. Menyebut namanya langsung dianggap tabu, seakan-akan bisa memanggil kehadirannya.
Bagi kami, Si-Mbah bukan sekadar hewan buas. Ia adalah lambang kewibawaan, penjaga hutan, dan simbol keseimbangan. Kehadirannya membuat manusia berhati-hati melangkah. Hutan bukan ruang kosong yang bisa ditaklukkan, melainkan rumah bersama yang harus dihormati.
Ketika Hutan Berganti Wajah
Namun, waktu mengubah segalanya. Seiring datangnya kepentingan ekonomi, hutan di sekitar Sonomartani mulai berganti wajah. Pohon-pohon besar ditebang, lahan dibuka, lalu digantikan dengan karet dan sawit.
Bagi Si-Mbah, kehilangan hutan berarti kehilangan rumah. Tapi bagi kami di kampung, hilangnya hutan justru menghadirkan peningkatan ekonomi. Karet dan sawit membawa kehidupan baru: ada uang tunai yang bisa digenggam, biaya sekolah anak lebih terjangkau, dan dapur lebih sering berasap. Barisan pohon karet dan sawit yang tumbuh rapi bahkan memberi kesejukan pandangan.
Namun, kesejukan itu tak sama dengan teduhnya hutan tropis yang dulu menaungi desa. Ada yang hilang diam-diam: suara burung yang berkurang, aliran sungai yang tak sejernih dulu, dan tentu saja wibawa Si-Mbah yang makin jarang terdengar.
Sang Penguasa Turun ke Desa
Saya masih ingat peristiwa yang membuat seluruh kampung geger. Seekor harimau turun ke desa, menyerang beberapa sapi ternak. Orang-orang panik, sebagian menyebutnya amukan, sebagian lagi bilang ia sedang mencari pasangan. Tapi saya percaya, ia sebenarnya sedang mencari rumahnya yang hilang.
Itulah saat pertama kali saya melihat bagaimana penguasa rimba yang dulu berwibawa tampak seperti makhluk terusir. Ia tak lagi berlari gagah di hutan, melainkan kelaparan di pinggir desa. Peristiwa itu menjadi pengingat pahit: konflik manusia dan satwa liar bukan sekadar soal keamanan, tetapi tanda bahwa keseimbangan sudah goyah.
Ekonomi Naik, Ekologi Turun
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran kebun karet dan sawit memberi kami peningkatan ekonomi. Banyak keluarga mampu membangun rumah lebih baik, membeli kendaraan, atau menyekolahkan anak hingga jenjang tinggi. Bagi masyarakat desa, itu kemajuan besar.
Tetapi ada harga yang dibayar. Hutan tropis yang dulu rimbun kini semakin menyempit. Tanah kehilangan keragamannya, air sungai mulai keruh, dan satwa-satwa besar tak lagi punya ruang untuk bertahan. Si-Mbah, yang dulu jadi simbol kewibawaan, kini terpinggirkan, bahkan nyaris hilang.
Inilah ironi terbesar: saat kami manusia menikmati hasil, penguasa rimba justru kehilangan segalanya.
Wibawa yang Terkikis
Jumlah Harimau Sumatera terus menurun. Dari ribuan ekor di masa lalu, kini hanya tersisa sekitar enam ratus di alam liar. Setiap tahun, kabar perburuan dan konflik satwa terus muncul. Harimau dipandang sebagai ancaman, padahal merekalah yang sebenarnya terancam.
Dulu kami segan menyebut namanya. Kini, sebutan itu tak lagi tabu. Bukan karena berani, melainkan karena jarak yang diciptakan oleh kelangkaan. Si-Mbah kini lebih sering hadir dalam cerita rakyat, di kebun binatang, atau di poster konservasi---bukan lagi di rimba dekat kampung.
Si-Mbah sebagai Cermin
Si-Mbah bukan hanya cermin bagi alam, tapi juga bagi manusia. Ia mengingatkan bahwa setiap pilihan membawa konsekuensi. Ketika hutan dibuka, ekonomi memang tumbuh. Tapi bersama itu, hilang pula sebagian dari keutuhan hidup.
Harimau yang turun ke desa bukan semata karena lapar, melainkan simbol bahwa keseimbangan sedang retak. Dan ketika alam retak, manusia pun sejatinya kehilangan.
Harapan dari Sisa Rimba
Meski suram, masih ada upaya menjaga. Kawasan konservasi mulai diperketat, patroli hutan berjalan, dan kesadaran masyarakat tumbuh perlahan. Ada pemahaman baru bahwa harimau bukan musuh, melainkan bagian dari keseimbangan ekosistem.
Namun upaya ini tidak bisa berjalan sendiri. Harimau Sumatera hanya bisa bertahan bila ada dukungan kolektif. Kita perlu memandangnya bukan sekadar satwa liar, tapi simbol martabat bangsa. Jika wibawa Si-Mbah runtuh, kita pun kehilangan sebagian dari jati diri kita sebagai manusia.
Jangan Biarkan Hanya Jadi Legenda
Setiap kali mendengar kisah tentang harimau, ingatan saya kembali ke Sonomartani. Ke masa ketika hutan masih rimbun, sungai masih jernih, dan Si-Mbah berjalan gagah di rimba. Kini, yang tersisa hanya kenangan dan pertanyaan: apakah anak cucu kita kelak masih bisa mendengar derap langkah penguasa rimba, atau hanya kisah getir yang kita wariskan?
Harimau Sumatera bukan hanya milik hutan, ia milik kita semua. Jangan biarkan wibawanya tinggal legenda. Karena ketika ia hilang, bukan hanya hutan yang kehilangan penguasa, tapi kita pun kehilangan bagian dari kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI