Saat dua bocah remaja ini berpisah di gerbang rumah Ki Purnomo, ayah Ratri, Ratri berpesan agar Widura hati-hati dan pulang membawa cerita yang menyenangkan. Sementara Widura berharap agar Ratri tetap rajin membantu ayahnya mengelola penjualan kain dan pakaian.
Dua hari kemudian, Ki Baskara berkunjung ke rumah Ki Jagabaya sambil mengantar Widura. Ki Baskara ingin melepas kepergian Widura bersama sang guru yang begitu tulus dalam membimbing anaknya memenuhi cita-citanya tersebut. Selama Ki Jagabaya pergi, urusan keamanan desa dilimpahkan ke orang lain. Sedangkan Nyi Jagabaya tiap harinya akan ditemani oleh Susi, seorang gadis Desa Ngalam yang ingin belajar meracik ramuan obat. Dengan membawa perbekalan yang dibungkus kain pasangan guru dan murid ini pun memulai perjalanan di pagi hari.
Widura dan gurunya berangkat lima hari sebelum perlombaan. Perjalanan menuju kadipaten Dulki membutuhkan waktu tiga hari. Masih tersisa dua hari untuk mengistirahatkan diri sebelum perlombaan di Festival Keprajuritan dimulai.
Demikianlah, perjalanan guru dan murid itu pun dimulai. Terkadang mereka bertemu teman seperjalanan hingga tujuan tertentu. Sedangkan di saat hari mencapai puncak, mereka beristirahat menikmati bekal.
Ketika hari mulai temaram, Widura dan Ki Jagabaya sampai di sebuah tanah lapang. Di tempat ini sudah ada beberapa kelompok yang beristirahat. Tempat ini sering digunakan oleh para pedagang dan musafir sebagai pemberhentian. Tidak mengherankan, karena di dekat lahan itu terdapat aliran sungai. Setelah membersihkan diri, guru dan murid itu memilih suatu tempat untuk melepas lelah setelah seharian berjalan.
"Jika kamu benar-benar ingin jadi prajurit, kamu harus terbiasa tidur di sembarang tempat. Sebab sering kali prajurit harus menempuh perjalanan jauh demi tugas. Dan tidak selalu dalam perjalanan itu bertemu penginapan atau sejenisnya," Ki Jagabaya berujar setelah mereka menyalakan api.
"Iya guru," jawab Widura singkat saja sambil menyalakan api unggun.
Mereka memanasi bekal daging dan umbi-umbian untuk makan malam. Di bawah taburan gemintang, orang-orang di tanah lapang itu menikmati perbekalan masing-masing. Walau beristirahat di suatu tempat yang jauh dari pemukiman, suasana tidak terlalu sepi. Ini karena sesayupan suara percakapan dari beberapa rombongan menghidupkan kegelapan malam.
Widura tidur di tanah lapang beralaskan kain tebal yang memang dipersiapkan sejak dari rumah. Kain itu memang khusus dipakai untuk alas tidur. Untuk meredam dingin dan serangan serangga malam, Widura berkemul kain panjang yang menutupi sekujur tubuhnya.
Pagi kembali menjelang, diwarnai kokok ayam hutan dari kejauhan. Widura dan Ki Jagabaya bersiap melanjutkan perjalanan. Sambil sekadar menyapa sekelompok pedagang yang juga bermalam di tanah lapang, guru dan murid itu mulai mengukur jalanan.
Saat sinar mentari makin terasa hangat, Widura sampai di suatu pasar desa. Mereka mendatangi penjual daging dan umbi-umbian, membeli daging yang sudah diawetkan dan bekal makanan lainnya. Setelah itu mereka memasuki sebuah kedai makanan yang lumayan sederhana dan tidak ada pembeli.