Telur, Virus, dan Hati Seorang Dokter Hewan
(Kisah Perjuangan drh. Rangga, Penjaga Kehidupan di Dunia Perunggasan)
"Dok, produksi turun lagi..."
Suara Pak Sarto terdengar berat di ujung telepon. Di seberang sana, drh. Rangga baru saja meneguk kopi paginya, ketika aroma pahit itu berubah menjadi pertanda hari panjang.
"Turunnya berapa persen, Pak?" tanyanya cepat.
"Sudah dua hari ini, Dok... turun sepuluh persen. Ayam-ayam mulai lesu. Pakan masih sama, tapi produksi terus turun."
Rangga menatap ke luar jendela. Langit masih buram, tapi pikirannya sudah berlari ke kandang. Ia tahu, turunnya produksi bukan hanya soal angka --- itu tanda ada yang salah. Entah penyakit, manajemen, atau perubahan kecil yang bisa berakibat besar.
"Baik, saya ke kandang jam tujuh. Tolong siapkan catatan suhu dan kelembapan dua hari terakhir."
"Siap, Dok."
Ia menutup telepon, meraih tas medis, dan dalam hati bergumam pelan,
"Kandang gak pernah tidur, dan dokter hewan gak pernah benar-benar istirahat."
Pagi di Kandang
Ketika mobil putihnya berhenti di depan gerbang peternakan, matahari baru muncul di balik kabut tipis. Udara bercampur bau dedak, serbuk kayu, dan ammonia --- aroma yang hanya dimengerti orang yang hidup di dunia ini.
Rangga menggulung lengan baju, mengenakan sepatu boot, dan masuk ke lorong kandang. Ribuan ayam berbaris rapi dalam kandang tertutup, sebagian tampak tenang, sebagian lain tampak gelisah.
"Pak Sarto, ventilasi semalam lancar?"
"Agak tersumbat, Dok. Kipas sempat mati setengah jam."
Rangga mengangguk pelan. "Itu bisa bikin ayam stres. Stres bikin imunitas turun, dan produksi pasti ikut jatuh."
Ia mengambil seekor ayam, memeriksa matanya, mulut, dan lendir di hidung.
"Lihat ini. ND dan IB bisa kambuh bersamaan. Kita harus perkuat program vaksinasi."
Pak Sarto menatapnya ragu. "Lagi, Dok? Biayanya lumayan, lho..."
"Kalau kita menunda, nanti rugi lebih besar, Pak. Vaksin itu bukan beban, tapi perlindungan."
Ia menuliskan di papan tulis:
Program Revaksinasi: ND, IB, Gumboro, Coryza, EDS, ILT, AI.
Tulisannya besar, tegas, seperti janji.
Ketika Kolera Datang
Sore hari, kabar buruk datang lewat telepon lain.
"Dok! Ayam mati mendadak banyak sekali!"
Rangga langsung berangkat. Ia tiba saat matahari hampir tenggelam. Begitu masuk kandang, aroma amis menusuk hidungnya.
Ia membuka satu bangkai ayam, memeriksa hati dan limpa.
"Kolera," katanya lirih.
"Waduh, Dok... habis ini gimana?"
"Kita gak boleh panik. Pisahkan ayam sehat, semprot disinfektan, dan malam ini juga kita vaksin darurat."
"Sekarang, Dok?"
"Kalau nunggu besok, bisa separuh mati duluan, Pak."
Malam itu, cahaya lampu kandang jadi saksi kerja tanpa henti.
Rangga memimpin tim vaksinasi. Tangan kirinya memegang senter, tangan kanan menyuntik satu per satu ayam. Keringat bercucuran, tapi langkahnya mantap.
"Setiap suntikan ini," pikirnya, "adalah janji kecil pada hidup yang tak bisa bicara."
Menjelang tengah malam, ia masih berdiri di kandang. Wajahnya letih, tapi matanya tetap menyala.
Telur dan Tanggung Jawab
Dua minggu kemudian, keadaan mulai stabil. Produksi telur meningkat, ayam kembali aktif. Tapi Rangga tak ingin cepat lega.
Ia berkata kepada Pak Sarto, "Kita mulai uji Salmonella, ya. Ambil sampel telur dari tiap kandang."
"Lho, ayamnya udah sehat, Dok. Masih mau dites juga?"
"Pak, justru sekarang waktunya. Salmonella gak kelihatan, tapi bisa bikin orang sakit. Kita jaga bukan cuma ayam, tapi juga konsumen yang makan telurnya."
Pak Sarto menatap Rangga, terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Dok. Kalau buat jaga nama baik peternakan, saya ikut."
Hari itu, semua pekerja kandang bekerja ekstra. Tak ada yang mengeluh, karena mereka tahu: drh. Rangga bukan hanya bicara perintah, tapi memberi teladan.
Antibiotik dan Nurani
Suatu malam, teleponnya berdering lagi.
"Dok, ayam saya batuk semua. Tolong kasih resep antibiotik yang paling ampuh. Saya gak mau rugi."
Rangga menarik napas dalam.
"Pak, saya datang dulu ya. Kalau belum jelas penyebabnya, jangan buru-buru kasih antibiotik."
"Waduh, Dok. Dokter lain bisa langsung kasih!"
"Saya bukan dokter lain, Pak. Saya gak mau telur dari kandang ini nanti mengandung residu obat."
Hening di seberang.
Akhirnya suara berat itu berkata, "Baiklah, Dok. Saya tunggu."
Setelah telepon ditutup, Rangga menatap rak obat di ruangannya. Puluhan botol antibiotik berjajar. Ia tahu, satu botol bisa menyelamatkan ayam hari ini --- tapi bisa mengancam manusia besok. Ia tersenyum getir.
"Menjadi dokter hewan kadang berarti menolak yang mudah, demi menjaga yang benar."
Langkah Menuju Sertifikat
Beberapa bulan kemudian, Rangga menyiapkan sertifikasi NKV dan Sertifikat Veteriner. Ia tahu, prosesnya panjang, penuh revisi dan inspeksi. Tapi ia tak gentar.
Ia memeriksa ventilasi, sanitasi, pencatatan vaksinasi, hingga pengelolaan limbah. Ia bimbing para staf:
"Ini bukan cuma soal dokumen, tapi soal komitmen. Sertifikat ini bukti bahwa kita bekerja dengan cara yang benar."
Hari audit pun tiba. Auditor memeriksa setiap sudut, setiap berkas. Suasana tegang. Tapi di akhir kunjungan, auditor berkata,
"drh. Rangga, peternakan Anda ini luar biasa rapi. Jarang saya temui dokter hewan sepeduli ini."
Rangga hanya tersenyum. "Terima kasih, Pak. Kami cuma ingin masyarakat percaya bahwa telur ini aman."
Malamnya, ia memandangi sertifikat NKV di tangannya.
Tidak ada sorak-sorai, tapi hatinya hangat. Ia tahu --- ini bukan hanya hasil kerja keras, tapi juga bukti bahwa integritas masih punya tempat di dunia yang sibuk mengejar laba.
Antara Keringat dan Harapan
Beberapa waktu setelah itu, pagi datang lebih cerah. Pekerja kandang sibuk memungut telur, ayam-ayam tampak sehat.
Seorang anak kecil berlari ke arah mobilnya.
"Om Dokter! Ini telur dari Bapak. Katanya buat sarapan Om Dokter!"
Rangga tertawa kecil. Ia menerima telur itu, menatapnya lama-lama. Telur itu hangat di tangan, seperti membawa pesan: kerja keras tak pernah sia-sia.
Ia memandang ke arah kandang yang membentang di depan.
"Setiap telur ini," pikirnya, "lahir dari perjuangan, ilmu, dan doa."
Ia sadar, profesinya lebih dari sekadar pekerjaan.
Menjadi dokter hewan berarti menjaga keseimbangan --- antara sains dan hati, antara produksi dan kasih, antara kehidupan hewan dan tanggung jawab terhadap manusia.
Ketika angin pagi menyapu wajahnya, ia tersenyum.
Di balik setiap telur sehat, ada kisah panjang yang tak tercatat di laporan produksi: kisah tentang seorang dokter hewan yang memilih jalan sunyi, tapi berarti.
"Mereka tak tahu siapa yang menjaganya," gumamnya pelan, "tapi Tuhan tahu siapa yang bekerja dengan hati."
Pesan dari Kandang yang Tak Pernah Tidur
Menjadi dokter hewan di dunia perunggasan bukan hanya soal vaksinasi, penyakit, atau sertifikasi.
Ini tentang mengabdi diam-diam, menjaga ribuan makhluk hidup dari ancaman yang tak kasat mata, dan memastikan makanan yang sampai ke meja makan manusia benar-benar aman.
drh. Rangga tahu, setiap keputusan yang ia ambil membawa konsekuensi.
Tapi ia juga tahu: jika setiap dokter hewan bekerja dengan nurani, bangsa ini akan punya pangan yang sehat, ternak yang sejahtera, dan masyarakat yang percaya pada profesinya.
Karena di balik setiap telur yang utuh, ada doa yang tak pernah disebutkan --- doa dari seorang dokter hewan yang mencintai pekerjaannya sepenuh hati.
Apakah Anda ingin saya buatkan versi siap publikasi majalah atau buku profesi --- dengan subjudul, kutipan inspiratif, dan narasi visual (misalnya "drh. Rangga berdiri di kandang dengan sinar pagi, ayam sehat di sekelilingnya")?
Itu bisa memperkuat kesan emosional dan menggugah bagi pembaca umum maupun insan veteriner.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI