Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain [1]

6 Desember 2022   06:22 Diperbarui: 6 Desember 2022   06:42 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain 

Tanda di Langit (1)

PADA masa Kaisar Agustus mendominasi banyak kerajaan dan Herodes memerintah di kota Yerusalem, adalah seorang Media bernama Artaban. Ia tinggal di kota Ekbatana, di pegunungan Persia. Ia seorang muda bestari. Kediamannya dikelilingi tujuh dinding kompleks istana yang indah permai. Dari atap rumahnya, ia dapat memandang ke loteng-loteng hitam dan putih dan merah dan biru dan perak dan emas, terus hingga ke bukit kastil musim panas kekaisaran Partia yang berkilau bak mahkota tujuh lapis permata. 

Di sana terhampar seluas taman yang rapi tersusun pepohonan bebuahan dan bebungaan, selalu segar karena air dari lereng Gunung Orontes tak henti mengalir, mencipta bebunyian riang seperti nyanyian ratusan burung. Kelembutan aroma malam-malam di penghujung bulan September, seperti bisik-bisik pada kedalaman yang senyap, yang menyimpan percik air yang bersuara antara tangis atau tawa halus di bawah bayang-bayang. Jauh di pepucuk pohon, setitik cahaya bersinar lemah, mengintip lewat keluk tirai kediaman tuan rumah yang sedang mengadakan musyawarah bersama tetamunya. 

Tuan rumah berdiri di dekat pintu masuk, menyambut tamu-tamunya dengan wajah tersenyum sopan. Tubuhnya tinggi langsing, berkulit agak gelap. Usianya sekitar 40 tahun. Kedua matanya berdekatan, menonjol di bawah sepasang alis yang lebat, garis bibir tipis namun tegas; alis mata seperti seorang pemimpi dan mulut seorang tentara. Ia laki-laki berperasaan anteng namun berkemauan keras---seseorang yang di dalam dirinya, pada usia kapan pun, senantiasa menyimpan konflik batin yang kentara dan kepala yang tak berhenti bertanya. 

Jubah putih wolnya jatuh mengenai tunik suteranya, dengan tutup kepala meruncing berwarna senada, dengan kerah panjang pada kedua sisi telinga, rebah di rambutnya yang legam. Itulah pakaian yang menandakan ia pendeta Magi kuno, para penyembah api.

"Mari!" katanya dengan suara rendah dan ringan, menyapa tetamunya yang memasuki ruangan. "Selamat datang, Abdus. Salam damai, Rhodaspes, Tigranes, dan Ayahanda Abgarus. Anggaplah berada di rumah sendiri. Tempat ini menjadi hangat karena kehadiran kalian. Mari!"

Ada sembilan laki-laki beragam usia, berasal dari kelas hartawan dan cendekiawan yang nampak dari sutera halus yang mereka pakai, kerah-kerah motif keemasan pada leher mereka, para kaum Partia terhormat, tanda lingkaran emas bersayap di dada mereka, yang menandakan pengikut Zoroaster.

Mereka mengelilingi sebuah altar hitam kecil di ujung ruang. Api kecil terus menyala. Lalu Artaban berdiri di samping altar, melambaikan sebuah barsom -ranting tamarisk (yang digunakan pendeta Zoroaster untuk merayakan upacara sakral tertentu) di atas api, menambahkan pinus kering lalu minyak harum ke arah api. Mulutnya mulai melantunkan ayat-ayat Yasna, tetamunya tak dikomando ikut bergumam mengikuti ayat-ayat indah yang dipersembahkan sepenuh hati kepada Ahura-Mazda:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun