Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Artaban, Kisah Orang Majus yang Lain [1]

6 Desember 2022   06:22 Diperbarui: 6 Desember 2022   06:42 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tahun itu penuh dengan kesakitan dan penderitaan. Setiap hari selalu saja ada yang bikin susah. Setiap malam didera rasa sakit. Malam-malam panjang---malam-malam di mana seseorang masih terjaga, saya mendengar jantung berdetak yang memompa dengan kepayahan, sembari menunggu pagi datang, bahkan tidak tahu apakah akan dapat bertemu fajar lagi. Itu bukan malam-malam yang dipenuhi ketakutan. Pikiran tentang kematian tidak lagi menakutkan karena saya sudah mengakrabinya bertahun-tahun. Di samping itu, setelah sekian waktu merasa seperti seorang prajurit yang berdiri lama di dekat perapian, satu perubahan kecil akan terasa melegakan. Namun bahwa itu adalah malam-malam kesepian, itu benar. Malam-malam yang sangat berat. Bayangkankan bila bebannya seperti ini:

Kamu memikirkan bahwa tugas di dunia hampir berakhir, tetapi belum.

Kamu belum juga berhasil mengurai masalah yang membuat bingung selama ini. Tujuan semula pun belum. Kamu belum menyelesaikan tugas besar yang dirancang khusus untukmu. Kamu masih dalam perjalanan. Barangkali kisahnya harus berakhir di sini, di satu tempat---entah di mana---dalam kegelapan mungkin.

Lalu pada satu malam yang panjang dan sepi, kisah ini muncul begitu saja di kepala saya. Sebelumnya saya memang sudah tahu dan penasaran soal kisah Tiga Orang Majus dari Timur ketika mereka disebut dalam "Legenda Emas" Jacobus de Voragine dan buku-buku serupa. Kisah tentang Orang Majus Keempat belum pernah saya dengar. Saat itulah saya melihatnya dengan jelas, ceritanya bergerak melalui bayang-bayang dalam satu lingkaran cahaya yang temaram. Air mukanya begitu jelas saya lihat, sejelas ingatan saya tentang wajah ayah saya ketika saya terakhir melihatnya. Narasi tentang perjalanan Artaban dan segala ujian dan kekecewaannya, terus bergerak dalam benak saya tanpa jeda. Bahkan beberapa kalimat tertentu muncul lengkap dan tak terlupakan, sangat jelas seperti sebuah kameo. Yang perlu saya lakukan hanyalah mengikuti ziarah Artaban, selangkah demi selangkah, sebagaimana sebuah kisah dari permulaan sampai akhir.

Saya seringkali ditanya mengapa saya menulis Orang Majus Keempat itu mengatakan kebohongan di kota kecil di Betlehem, demi menyelamatkan hidup seorang anak.

Saya bilang, itu bukan cerita kebohongan. Apa yang Artaban katakan kepada para prajurit, dia berkata kepada dirinya sendiri karena dia tidak dapat menolongnya.

Apakah sebuah kebohongan dapat dibenarkan? Barangkali tidak. Tetapi bukankah kadang-kadang itu tampak tidak ternilai harganya?

Dan jika itu adalah dosa, mungkin bukan dimaksud untuk seseorang mengakuinya, dan diampuni, itu lebih mudah daripada dosa yang lebih besar yaitu rasa ego spiritual atau pengabaian, atau pengkhianatan dari darah orang tidak berdosa? Begitulah yang saya lihat tentang Artaban. Itulah yang telingat saya dengar apa yang dia katakan. Seluruh hidupnya dia upayakan untuk melakukan yang terbaik semampu yang dapat dilakukannya. Memang tidak sempurna. Tetapi ada beberapa jenis kegagalan yang lebih baik daripada keberhasilan.

Meski cerita Orang Majus Keempat datang kepada saya secara tiba-tiba dan tanpa usaha, ada banyak hal yang harus dipelajari dan kerja keras yang harus dilakukan sebelum menuliskan kisahnya. Sebuah gagasan datang tanpa upaya. Sebuah bentuk harus dibuat dengan kesabaran. Jika ceritamu bermakna untuk diceritakan, kamu sendiri harus benar-benar menyukainya sehingga rela mengerjakan ulang sampai menjadi benar---benar tidak dalam arti ideal, tetapi benar yang sesungguhnya. Cahaya itu sebuah anugerah. Namun warnanya hanya dapat dilihat oleh seorang yang melihatnya untuk waktu lama dan terus-menerus. Artaban berjalan bersama saya ketika saya bekerja keras melewati sejumlah kisah perjalanan kuno dalam sejarah. Saya melihat sosoknya sementara saya melakukan perjalanan di laut yang tenang di gurun dan di kota-kota yang asing di Timur.

Dan setelah itu, maknanya apa?

Bagaimana saya menjawabnya? Apa makna dari hidup? Jika artinya dapat dituliskan dalam satu kalimat maka saya tidak perlu lagi menceritakan kisah ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun