Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [8]

7 Oktober 2022   10:47 Diperbarui: 7 Oktober 2022   11:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Batam-Singapura-Johor Bahru. Desember 2006.

Pertemuan kami yang ketiga. Aku berhasil membeli tiket murah Jakarta-Batam. Sebuah prestasi buatku. Kalau Thiru tahu masalah ini mungkin lambungnya akan sehat. Setengah mati aku menyortir baju untuk perjalanan selama empat hari ini agar terangkul dalam sebuah ransel ukuran sedang.  

Pukul 9. Bandara Soekarno Hatta. Aku mengantre di konter AirAsia untuk check-in. Orang berdiri tak beraturan dengan troli mereka yang memuat kardus-kardus besar. Seorang ibu berkerudung motif bunga-bunga kecil biru muda cerah berdiri di depanku. Ia bergerak tak tenang. Tiba-tiba ia berbalik, memandangku dan langsung bertanya, dapat harga tiket berapa? Aku memandang ibu itu, bertanya, maksud Ibu? Dia tidak mengulangi pertanyaannya tetapi memberitahuku bahwa tiket pergi-pulang Jakarta-Batam miliknya seharga dua ratus lima puluh ribu rupiah.  Aku paham.

"Tiga ratus sembilan puluh ribu, " jawabku. 

"Itu mahal!" pekiknya. 

Wajahnya berubah. Aku tersenyum tak peduli. Lalu dia memberondongku dengan nasihat pesan jauh-jauh hari, akses sendiri lewat internet, tinggal ke warnet, pilih tempat duduk, lima menit selesai kalau len lancar. Liburan bulan Desember lalu, ceritanya, saya dapat tiket supermurah ke Bali, satu juta untuk empat orang pergi-pulang Jakarta-Bali. Memang kadang-kadang AirAsia molor. Tapi satu-dua jam, itu tak masalah, katanya. Aku mengangguk-angguk mengerti semangatnya.  

"Sekarang zaman susah, Dik. Balik ke zaman orangtua saya dulu. Harus pintar-pintar ngatur uang. Gimana aja supaya uang cukup untuk biaya anak sekolah dan keperluan rumah tangga. Suami saya pegawai negeri, Dik. Gaji untuk sebulan, mana cukup? Dengan sidejob makelar tanah saja masih gali lubang tutup lubang. Saya sudah dua tahun ini turun tangan bantu suami cari tambahan. Saya kadang-kadang bingung, bagaimana dengan tetangga saya yang penghasilannya hanya dari satu pintu? Apa bisa cukup? Tujuan ke mana, Dik?"

"Singapura, " jawabku.

"Oh, jalan-jalan. Masih sendiri atau sudah nikah?"

"Masih sendiri," jawabku, malas. Apa maksud segala pertanyaan ini? Apa pentingnya informasi ini untuknya? Kami hanya bertemu sesaat, setelah itu mungkin tak akan bertemu lagi. Untuk apa omongan tidak penting ini? 

Puas-puasin diri deh, katanya tertawa. Kalau sudah kawin apalagi punya anak, boro-boro! Cari waktu untuk sendiri saja susahnya minta ampun, katanya. Ketika dia membuka pembicaraan isu fiskal lima ratus ribu, gilirannya check in. Aku lega karena tak ada lagi pengganggu. Ketika memasuki ruang tunggu Gate 6, aku mengambil jarak dengan si Ibu Kerudung Biru Muda. Aku menyibukkan diri dengan ponsel, mengabari Thiru pesawatku akan berangkat pukul 10.15 dan tiba di Batam 12.10. Dari situ naik feri menuju Singapura, tetapi belum tahu jadwal keberangkatan. Thiru berpesan agar aku terus mengaktifkan ponsel dan berhati-hati kepada semua jenis orang. Pesan itu membuatku tenang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun