Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Administrasi - Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Naftali [8]

7 Oktober 2022   10:47 Diperbarui: 7 Oktober 2022   11:29 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku segera melempar senyum. Berapa lama feri akan tiba di Singapura? tanyaku. Satu jam, Kak, jawabnya cepat. Suaranya kecil dan nyaring. Aksen Cinanya kental. Baru sekali naik feri, ya, Kak? tanyanya. Aku mengangguk. Belanja? tanyanya lagi. Ketemu teman, jawabku. Oh, jalan-jalan, simpulnya. Aku mengangguk. Sering ke Singapur? tanyanya. Sering, tetapi belum pernah lewat Batam, jawabku. Sekarang kenapa lewat Batam? desaknya. Aku tak punya alasan. Hemat, jawabku akhirnya. Dia tertawa. Gigi-giginya kecil berderet di gusi lebar yang mendominasi mulutnya. Aku gembira bisa membuatnya tertawa selebar itu.

Gadis itu mulai bercerita. 

"Harbour Front, tempat terakhir feri ini, ada terminal MRT yang menuju ke berbagai jurusan di Singapur. Tinggal tentukan tujuan. Sayah ke Singapura untuk ketemu Cece. Dia sedang belanja. Dia punya toko lumayan besar di pertokoan Nagoya. Sayah asisten Cece. Cece langganan menginap di apartemen sepuluh dolar semalam kalau sedang belanja. Sebenarnya dia nggak perlu nginap tapi itu supaya dia bisa tidur dengan laki aja. Cece haus seks, Kak. Selain di Singapura, Cece bisa ketemu laki-laki siapa saja. Ganti-ganti. Yang penting suka sama suka. Kalau sebulan tak belanja karena toko sepi, Cece akan menelepon Taryono, laki orang yang bininya dua. Si Taryono itu sopir tetangga toko kami di Nagoya. Tak sampai sepuluh menit si muka tembok itu muncul di toko, perutnya buncit seperti tokeh. Mulutnya senyum-senyum dengan gaya menyebalkan, persis sapi jantan di musim berahi. Langkahnya dibuat-buat dengan gaya sempoyongan. Mukanya yang kayak babi itu akan merah kalau sudah lihat Cece di belakang kasir. Mereka pandang-pandangan, bergenit-genit memuakkan, tak peduli ada pembeli. Kemudian Si Taryono akan ke luar toko setelah kasih tanda, dua menit kemudian, baru Cece ngikut. Gua keluar sebentar ada perlu, Ling, katanya. Cece pikir sayah bodoh. Dia pikir sayah tak tahu tingkah busuknya. Mereka main di kamar mandi umum, Kak. Ih, jijik sayah. Orang-orang juga sudah banyak yang tahu, kok. Kalau Si Taryono sedang ditugaskan ke luar kota dan Cece sudah kegatelan, dia cari sopir lain atau main sendirian, duduk di lantai gudang toko, menggosok-gosokkan tangannya ke selangkangan sambil memejamkan mata dan bersuara-suara aneh sendirian." 

Ia jeda sejenak. Ketika bercerita, matanya kadang mengecil atau membesar. Mulutnya kadang monyong kadang penuh cibir. Ceritanya belum selesai.

"Sebenarnya sayah tak suka kerjaan ini, Kak. Capek. Kalau ada, sayah lebih suka kerja tetap di kantor atau pabrik. Jadi administrasi. Nggak perlu bolak-balik kayak gini. Sayah kerja nggak kenal libur. Kalau sayah minta cuti sehari aja sama Cece, dia akan ngomel, bilang sayah malas."

Matanya tak bahagia.

"Kamu hanya dua saudara dengan Cece?" tanyaku. 

"Ya. Hanya dua saudara. Sayah dan Cece. Papa Mama menumpang hidup pada kami karena sudah dua tahun ini Papa tak kerja. Papa lumpuh karena stroke. Mama berhenti kerja di toko dan merawat Papa di rumah. Cece menopang ekonomi keluarga. Uang dari Cece untuk beli obat, bayar dokter, tagihan rumah sakit, makan sehari-hari, sewa rumah dan toko. Sebelum tinggal di Batam, kami di Pontianak. Papa bilang kita harus pindah kota karena sakitnya tak sembuh-sembuh. Menurut orang pintar, Pontianak nggak cocok feng shui-nya dengan nama Papa."

Aku mengangguk-angguk. 

"Cece gila seks, Kak. Sayah benci sekaligus kasihan sama kelakuan Cece. Itu penyakit, ya Kak?" tanyanya. 

Tanpa berpikir aku mengangguk. Aku merasa leher agak kaku karena terus-menerus memandang ke arah yang sama. Si gadis siap berbicara lagi, segera aku berdiri meluruskan badan dan keluar dari barisan bangku, memutar-mutar leher. Tiba-tiba aku ingin pipis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun