Kami berhenti di McDonald's. No junk food, katanya cepat, tegas. Wajahnya mengerut, kepalanya menggeleng-geleng, seperti layaknya orang India. Tapi kita tak punya banyak waktu, dalihku. Akhirnya ia mengalah. Kami masuk ke konter makanan Amerika itu. Aku pesan gourmet wrap, ia pesan nasi dan dua ayam goreng kering pedas. Aku pesan ice lemon tea untuk kami berdua. Ia tanya, kenapa kamu tidak pesan nasi. Kujawab, nasi bikin perut buncit. Nasi akan bikin kamu kenyang, tekannya. Lalu kujawab, ini sekaligus makan malam. Ia mengangguk, tenang. Dan pembicaraan soal makanan pun selesai.
Sebelumnya, kami sudah saling mengirim pesan pendek. Dan aku sudah mempelajari pesan-pesan pendek darinya. Ia senang membahas angka, membandingkan harga, penjelasan untung-rugi. Memang tidak selalu, tapi sering. Ia menganalisis berapa uang yang dibayar dan berapa sepatutnya. Aku pernah bilang bahwa lokasi tempat makan akan turut menentukan harga. Gado-gado pinggir jalan dengan gado-gado hotel, misalnya. Gado-gado pinggir jalan bisa saja enak dan murah, tetapi setelah makan harus langsung angkat kaki karena pelanggan lain menunggu. Gado-gado hotel harganya sepuluh kali lipat, tapi kau bisa duduk tenang dengan suasana nyaman, sampai bosan. Namun, ia jenis orang yang tak sudi membayar sebuah harga demi prestise. Merek itu omong kosong, cibirnya.
"Dari Afrika, ya, Mbak?" tanya kasir restoran, jelas-jelas kepadaku.Â
"Oh, bukan. India," jawabku, tak menyangka akan mumbul pertanyaan itu, dan bahwa pertanyaan itu sebenarnya ditujukan kepada Thiru.
"Oh, kirain Afrika. Maaf ya, Mbak," kata kasir itu tersenyum, melirik Thiru .
Aku mengangguk. Kenapa dia minta maaf, pikirku aneh. Apa karena salah menebak? Â
"You see?" ujar Thiru memandangku sambil membawa nampan makanan. Wajahnya tampak mengeras.
"Apa?" tanyaku.Â
"Mereka pikir aku dari Afrika."
"Kenapa kalau kamu dari Afrika?" Â Â Â
"Well, kamu tahu apa yang kebanyakan orang Afrika lakukan di negaramu, bukan?" nada suaranya penuh tekanan.