November 2006Â
Pertemuan kami yang kedua di Yogyakarta. Dia mendarat di Jakarta. Pesawatnya tiba pukul lima sore di bandara. Aku sudah menunggu tiga puluh menit di KFC, menghabiskan secangkir kopi hitam dan lamunan panjang. Pukul lima aku berdiri di gerbang kedatangan. Ternyata pesawat AirAsia dari Kuala Lumpur mendarat lima menit lebih cepat.
Tiba-tiba dadaku berdebur dan hatiku sibuk bertanya, kenapa aku bersedia ketemu orang yang belum lama kukenal ini? Sejurus mataku menangkap bayangnya keluar dari pintu imigrasi. Jantungku jatuh. Orang itu menoleh ke kanan dalam sekali gerakan, lalu mata kami bertemu. Tubuhku membeku. Aku tak mengira Thiru muncul dengan penampilan sama seperti aku melihatnya pertama kali di Puri Royal Ubud. Dia menggendong ransel hitam ukuran sedang, topi abu-abu untuk menutupi kepala gundulnya, tas kamera melintang di dada, kaus putih, celana tiga perempat berwarna kelabu dengan dua saku besar, sepatu Nike. Tetapi kali ini ia berjaket kulit hitam.
Ya Tuhan, desisku.
Thiru melangkah lebar. Pinggangnya yang tinggi membuat tungkainya tampak panjang. Aku menunggunya. Aku menyodorkan tangan, tetapi ia menarik tubuhku ke tubuhnya. Mendadak aku gerah. Tak menyangka laki-laki itu bisa juga bergerak luwes dan berani. Tubuhnya tegap namun lentur. Ia berlatih gerakan yoga dan tidak makan makanan sampah.Â
"Kita sudah sepakat hanya berjabat tangan kalau bertemu, tapi kamu memeluk saya," kataku, mengingatkan.Â
"Is it? Saya terkesan kamu belum melupakan manusia hitam ini," katanya dalam bahasa Inggris aksen India yang khas.Â
Aku tersenyum, memaafkan, kemudian bertanya, "Lapar?"
"Ya. Ada makanan India di sini?" tanyanya sambil menoleh ke kiri-kanan.
"Nasi, maksudmu?"
Thiru berjalan sambil menggenggam tangan kananku. Aku gugup sekali dengan caranya yang langsung-langsung seperti itu. Kami berpapasan dengan beberapa orang. Setelah memandang Thiru, mereka pasti menatapku. Mungkin mereka pikir laki-laki eksentrik itu punya pasangan yang waras.Â